Pages

Ads 468x60px

Friday, December 16, 2011

Menanggapi Rating Investment Grade dan Kritikan Terhadap Utang Indonesia

Bangsa kita patut bersukur dengan upgrade yang dilakukan oleh Fitch Ratings terhadap prospek jangka panjang serta surat utang dalam denomenasi Rupiah Indonesia. Fitch Ratings memberikan peringkat BBB- terhadap Indonesia, dari sebelumnya BB+, dengan prospek (outlook) stabil. Rating BBB merupakan level terendah untuk bisa digolongkan dalam investment grade.

Rating “Investment Grade” lepas dari Indonesia pada tahun 1997, ketika terjadi krisis ekonomi di regional Asia, yang membuat sistem keuangan dan perbankan mayoritas negara-negara di Asia Tenggara kolaps.

Alasan yang diberikan oleh Fitch untuk mengganjar negara kita dengan rating layak investasi memang cukup logis. Likuiditas keuangan Indonesia saat ini sangat kuat, terlihat dari posisi cadangan devisa (FX reserves) sebesar USD111.3 miliar per November 2011, bandingkan dengan Januari 2010 sebesar USD69.6 miliar.

Perekonomian Indonesia yang bertumpu pada kekuatan domestik juga terbukti sangat kuat menghadapi terjangan krisis dari zona Eropa dan US yang terjadi saat ini. Inilah kelebihan dari perekonomian kita. Namun model perekonomian seperti ini juga mungkin tidak akan ikut menikmati ketika negara-negara lain mengalami pertumbuhan yang luar biasa, atau mungkin menikmati dalam porsi yang kecil.

Posisi utang pemerintah kita juga terus mengalami penurunan. Memang secara angka, tren utang kita adalah mengalami kenaikan, tetapi secara rasio terhadap PDB, angkanya terus menurun.

Inilah senjata yang sering dijadikan peluru oleh politisi Indonesia, mereka menyerang pemerintah dengan mengatakan bahwa jumlah utang kita terus mengalami peningkatan dibandingkan dengan dulu. Sangat tidak adil rasanya tudingan itu, karena mereka tidak melakukan perbandingan dengan pertumbuhan PDB kita yang juga sangat tinggi. Jadi secara rasio utang terhadap PDB, tren yang ada adalah penurunan jumlah hutang.

Saya jadi teringat dengan “Ten Principles of Economics” yang dikatakan oleh Gregory Mankiw-seorang profesor ekonomi di Harvard University-dalam buku Principles of Economics. Buku ini mungkin merupakan kitab suci pemikiran ekonomi makro modern. Sepuluh prinsip ini adalah merupakan aksioma dasar yang dipakai untuk berpikir ala ekonom. Dalam salah satu prinsip yang ketiga dikatakan “Rational People Think At The Margin”.

Berdasarkan aksioma dari Mankiw tersebut, mungkin kita bisa mengatakan politisi-politisi tersebut adalah berpikir tidak rasional karena mereka berpikir tidak secara rasio. Yang paling mengherankan adalah beberapa ekonom juga malah ikut-ikutan berpikir tidak rasional. Ya, mungkin mereka adalah beberapa ekonom yang hanya menempatkan diri sebagai ekonom oposisi terhadap pemerintah, jadi mereka tidak berusaha memandang suatu permasalah dengan objektif. Mereka adalah kritikus yang mengatas namakan idealisme dan nasionalisme. Anda bisa memperhatikan Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie sebagai contohnya. Yah, mungkin wajarlah karena mereka adalah barisan sakit hati yang tidak mendapatkan tempat di kekuasaan saat ini.

Mari kita lupakan mereka, kembali ke topik awal. Dengan kenaikan rating ini, seharusnya posisi Indonesia sangat diuntungkan. Pemodal asing mungkin tidak akan ragu lagi berinvestasi di Indonesia. Beban bunga (interest) yang akan ditanggung pemerintah juga akan turun. Namun itu sebenarnya hanya ranking yang ada diatas kertas, untuk realisasinya kita masih harus menunggu di depan.

Secara nyata, pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah yang sangat banyak. Secara makro dan politik memang posisi Indonesia sudah relatif stabil, namun masih sangat sensitif dengan gangguan. Tantangan di depan masih banyak, era globalisasi menuntut kita harus mampu bersaing dengan pihak luar. Kita tidak akan mampu terus bertahan dengan menjadi jago kandang. Mungkin inilah yang menjadi tantangan utama yang akan kita hadapi di depan.





Arman Boy