Pages

Ads 468x60px

Thursday, February 2, 2012

Perubahan Peta Global: Kekuatan dari Konsensus

Para tukang ramal saat ini sedang menggembor-gemborkan kemunculan negara-negara Asia sebagai pusat kekuatan global yang baru, termasuk Indonesia, menggantikan kekuatan Amerika dan kemapanan negara-negara Uni Eropa. Selama ajang World Economic Forum di Davos, Asia Tenggara menjadi bahan perbincangan dan menarik perhatian banyak forum diskusi.

Kalau kita melihat ke belakang, titik kebangkitan Eropa dimulai dengan Revolusi Industri yang terjadi di Inggris (1760), yang diikuti oleh bersinarnya negara-negara Eropa Barat yang lain. Saat itu, seluruh dunia berkiblat ke benua tersebut. Seluruh dunia tercengang dengan proses industrialisasi yang terjadi. Mekanisasi dalam proses manufacturing memunculkan transformasi dari tenaga manusia ke mesin, membuat pekerjaan jadi efisien.

Berikutnya pusat peta global berpindah ke negara superpower Amerika Serikat. Penguasaan Amerika akan komputerisasi menjadi kata kuncinya. Kemampuan inovasi mereka dalam bidang keuangan yang merupakan praktek dari kapitalisme, juga membuat mereka menjadi kiblat dunia.

Dan Eropa, pada era kebangkitan Amerika tersebut, pun sudah sangat mapan dan stabil dengan tingkat kemakmuran masyarakat yang sangat tinggi. Ketimpangan pendapatan (income disparity) sangat kecil di kawasan Eropa. Mayoritas negara Eropa memiliki Gini Coefficient dibawah 30.

Peta kemudian mulai berubah pada saat ini. China, India, Brazil, dan Indonesia diramal akan muncul sebagai raksasa ekonomi dunia. Sumber Daya Alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang besar menjadi kekuatannya. Sementara Eropa tinggal menyisakan harapan kepada Rusia-yang menurut saya juga sebenarnya tidak terlalu Eropa.

Saya tertarik untuk memikirkan hal tersebut. Apa penyebab terjadinya perpindahan kekuatan pada setiap era? Pada zaman awal munculnya peradaban manusia modern juga begitu, kekuatan selalu berpindah dari wilayah satu ke yang lain. Peradaban Mesopotamia tidaklah bertahan selamanya, demikian juga dengan peradaban Mesir, Romawi, dan Yunani. Puncak kejayaan mereka tinggal sisa-sisa hingga saat ini.

Jawabannya menurut saya adalah kekuatan dari konsensus. Konsensus saya maksudkan disini adalah apa yang menjadi kesepakatan bersama secara mayoritas, dan dianggap sebagai jawaban atau metode terbaik. Mungkin ini adalah sisi aplikasi dari demokrasi musyawarah untuk mufakat yang tidak terlalu kita sadari.

Inilah yang terjadi dengan Indonesia saat ini, semua pihak sepakat bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Lembaga-lembaga rating memasukkan Indonesia ke dalam Investment Grade. Orang-orang yang berkelebihan dana beramai-ramai memasukkan dana ke Indonesia, dengan harapan akan memberikan imbal hasil yang spektakuler.

Kalau memang alasannya adalah kekuatan SDA dan dukungan demografi yang kuat, bukankah Indonesia memang sudah dari dulu kaya dengan SDA dan memiliki penduduk yang banyak? Lantas kenapa baru sekarang mereka menggembor-gemborkan hal tersebut.

Bersukurlah kita memiliki sosok Gita Wirjawan yang hebat, seorang mantan Investment Banker dari JP Morgan, dengan pergaulan dan perspektif yang sangat global, dan dengan kemampuan marketing yang luar biasa. Beliau berusaha keras mengenalkan negara kita di mata dunia internasional. Beliau membuat negara kita sejajar dengan negara maju lain di forum internasional. Tentu dengan dukungan skor TOEFL diatas 600. J

Nah sekarang pilihan ada di kita, apakah akan mengikuti arus pergerakan global tersebut atau tetap bertahan dengan status kita yang ada selama ini. Kalau saya sih lebih memilih untuk mengikuti arus permainan, dan memanfaatkan momentum tersebut untuk kemajuan.

Karim Raslan, seorang pimpinan saya, yang juga chairman the World Economic Forum Global Agenda Council on Southeast Asia, berkata “You can be everybody’s golden boy one minute and a pariah the next. But that’s how the world turns”. Mari kita pikirkan bersama-sama.