Pages

Ads 468x60px

Monday, March 26, 2012

Kemunduran Peradaban Manusia: Pengenalan tentang Liberal Arts






“It is not so very important for a person to learn facts. For that he does not really need a college. He can learn them from books. The value of an education is a liberal arts college is not learning of many facts but the training of the mind to think something that cannot be learned from textbooks”. 

(Albert Einstein)

Saya sering memikirkan kenapa para pemikir hebat yang tercatat dalam sejarah kebanyakan muncul di Era Klasik yang berpusat di sekitar peradaban Mediterania, terutama Yunani dan Romawi. Apa sebenarnya perbedaan situasi di zaman mereka dengan zaman modern sekarang ini? Apakah memang sudah ada sekolah atau universitas yang hebat saat itu sebagai tempat mereka belajar?
Ternyata perbedaannya terletak pada sistem pendidikan. Pada Era Klasik dikenal dengan istilah Liberal Arts, konsep belajar dengan basic ilmu sosial, yang kemudian diarahkan ke minor tertentu. Sementara di Era Modern, sistem belajar dari awal sudah lebih terspesialisasi ke bidang tertentu.
Tiga subjek utama yang dipelajari dalam Liberal Arts dikenal dengan istilah Trivium, yaitu: Grammar, Rhetoric, dan Logic. Pada perkembangan berikutnya di Era Pertengahan (medieval), empat subjek dengan istilah Quadrivium ditambahkan, yaitu: Arithmetic, Geometry, Astronomy, dan Music. Keseluruhan Trivium dan Quadrivium inilah yang dikenal dengan istilah Seven Liberal Arts.
Pendidikan dengan model seperti inilah yang dinikmati oleh kebanyakan pemikir dunia yang tercatat oleh sejarah. Sistem pendidikannya memang sudah mempersiapkan manusia untuk menjadi seorang pemikir yang kritis, dengan dasar yang kuat di bidang ilmu humaniora dan science.
Bandingkan dengan sistem pendidikan sekarang yang lebih mengarahkan manusia untuk belajar dengan motif ekonomi atau uang. Otak kita hanya dicekoki ilmu di suatu bidang tertentu, tanpa diarahkan dan diberikan kesempatan untuk mengetahui dan mempelajari hal lain yang lebih luas. Sistem mengarahkan kita untuk memilih pendidikan yang kelak bisa menghasilkan uang yang banyak sehingga bisa memberikan kemakmuran ekonomi. Tidak heran jika Fakultas Kedokteran, Teknik, dan Ekonomi selalu kebanjiran peminat.
Beberapa universitas di Amerika dan Eropa saat ini masih menyediakan pendidikan dengan model Liberal Arts sebagai mayor. Untuk Indonesia, sepertinya tidak pernah ada model pendidikan seperti ini. Sistem kurikulum pendidikan kita sangat spesifik mengarahkan ke minor tertentu.
Akibatnya, saat ini susah ditemukan sarjana yang memiliki kemampuan menulis yang baik, yang tentunya harus dibentuk dengan konstruksi retorika yang logis. Saat ini susah ditemukan sarjana yang memiliki kemampuan berpikir filosofis yang tajam. Saat ini susah ditemukan orang yang mampu memetakan karakter manusia secara psikologis dan budaya.
Saya pribadi, dengan pengalaman hidup saya yang masih sedikit, menganggap bahwa itu adalah suatu kemunduran. Kita tumbuh menjadi manusia dengan perspektif dan wawasan yang sangat picik. Kebenaran yang terbentuk di pikiran kita hanya dibentuk oleh kebenaran hasil konstruksi orang lain atau hasil konstruksi mayoritas. Manusia modern sangat gampang diarahkan ke sudut pandang tertentu. Kita kehilangan kemampuan untuk berpikir secara independen dan bebas nilai.
Manusia semakin kehilangan kemanusiaannya. Keseharian kita diisi oleh kultur hidup pop yang serba instan dan praktis. Kita kehilangan kepekaan perasaan karena tidak  memiliki waktu untuk seni. Bukankah seni itu sebenarnya berfungsi untuk memanusiakan manusia?
Debat zaman sekarang sangat tidak berbobot karena hanya berisi argumentasi kosong yang lebih menonjolkan kekuatan nada berbicara dan minus etika. Sebagai contoh buruk, silahkan anda lihat salah satu talkshow  yang dipandu oleh jurnalis senior yang katanya lulusan terbaik Fakultas Hukum UI. Anda juga bisa melihat Senayan sebagai contoh buruk. Sebagai contoh yang baik, silahkan anda lihat Forum Sugeng Surjadi di TVRI.
Membahas sedikit tentang dinamika peradaban, hipotesa juga berbicara bahwa peradaban memang selalu mengalami maju mundur sepanjang kehadiran manusia di planet Bumi. Peradaban tidaklah bergerak maju secara terus menerus dengan konsisten. Bahkan ada spekulasi ekstrim yang mengatakan bahwa mungkin sebenarnya sudah ada peradaban manusia yang sangat maju - yang melebihi kemajuan peradaban kita pada detik ini - sebelum awal peradaban yang tercatat sekarang. Jika bukti tentang hal ini sudah ditemukan, beberapa agama mungkin akan kehilangan legitimasinya. 


Thursday, March 22, 2012

Ada Apa Dibalik Rekomendasi "Pengurangan Subsidi" Oleh World Bank?


Sekarang ini negara kita sedang gonjang-ganjing mengurusi masalah subsidi BBM, yang menurut saya saat ini sudah lebih kuat unsur politis daripada ekonominya. Isu ini sudah ditunggangi oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuannya. Semua orang berlomba-lomba memberikan opininya. Para ekonom juga memberikan pendapat yang berbeda-beda, dan semuanya diterangkan dengan logis dengan menyajikan data-data. Membuat rakyat awam yang tidak mengerti apa-apa menjadi bingung. Saya tidak akan membahas tentang pro-kontra ini, saya hanya membahas hal lain dibalik subsidi ini.

Sebenarnya ide pencabutan subsidi, terutama untuk BBM, itu berasal dari World Bank. World Bank pernah mengeluarkan report pada tahun 2006 dengan judul “Public Policy for The Private Sector - Phasing Out Subsidies”. Dalam report tersebut, World Bank merekomendasikan pencabutan subsidi BBM secara bertahap oleh negara-negara berkembang. Mereka berargumen bahwa subsidi BBM akan akan menimbulkan biaya yang sangat tinggi terhadap fiskal dan peningkatan utang publik.

Hal tersebut berarti bahwa Bank Dunia menginginkan pasar minyak harus dilepas ke mekanisme pasar, tidak dibutuhkan lagi intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi. Sesuai dengan pemikiran teori modern neoclassical economics, ekuilibrium harga dan kuantitas yang terbentuk pada pasar persaingan kompetitif mungkin adalah merupakan yang paling efisien, alokasi sumber daya pada kondisi tersebut akan terjadi dengan sempurna.

Mari kita bayangkan argumen dari World Bank tersebut. Dalam pasar persaingan kompetitif, harga yang terbentuk dalam titik ekuilibrium itu adalah sama dengan biaya produksi (p = c). Biaya (cost) dalam hal ini sudah termasuk keuntungan minimal yang harus diperoleh oleh produsen agar tetap mampu berproduksi.


Ketika jumlah permintaan meningkat, berarti harga adalah turun. Karena harga dalam persaingan kompetitif sama dengan cost, maka berarti harga akan turun di bawah cost ketika permintaan naik . Jika harga sudah turun dibawah cost, maka produsen tidak akan mampu lagi berproduksi karena merugi. Berarti dalam hal ini produsen akan dirugikan sehingga kesejahteraan ekonomi tidak akan terjadi.

Bila kita berikan skenario kebalikan, misalkan jumlah permintaan menurun, maka berarti harga sedang naik. Karena harga sudah berada diatas ekuilibrium pasar kompetitif yang seharusnya, maka kesejahteraan ekonomi juga tidak akan tercapai. Dalam hal ini, berarti argumen World Bank bahwa pencabutan subsidi akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi adalah tidak masuk akal.

Kesejahteraan ekonomi hanya akan meningkat ketika peningkatan jumlah permintaan tidak disertai dengan penurunan harga dibawah cost. Oleh sebab itulah, subsidi dari pemerintah sangat diperlukan untuk untuk menahan harga ketika jumlah permintaan sedang naik ataupun turun. Dengan demikian, social welfare akan tetap terjaga mengalami peningkatan.

Tapi itu hanyalah logika sederhana saya berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Yang pasti, orang-orang World Bank adalah lebih pintar dari saya. Mungkin ada beberapa faktor lain yang mereka masukkan, yang mungkin diluar pengetahuan saya. Atau memang sebenarnya mereka mengeluarkan suatu rekomendasi kebijakan adalah hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Mudah-mudahan tidak demikian. Saya tidak mau berpikiran terlalu konspiratif. :p