Pages

Ads 468x60px

Wednesday, May 30, 2012

Proyeksi Arah Ekonomi Indonesia dan Global: Kemanakah Arah Nilai Tukar Rupiah?


Tadi pagi saya melihat beberapa media cetak mengangkat headline tentang depresiasi yang terjadi pada nilai Rupiah terhadap Dolar, sehingga BI mengeluarkan instrumen kebijakan baru yang disebut dengan Term Deposit Dollar. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah mengeringnya likuiditas Dolar di pasar. Kemudian saya coba melihat running trade Rupiah terhadap Dolar di monitor saya, sedikit kaget melihat bahwa ternyata posisi kurs tengah nilai tukar sudah di angka 9.475, berarti sudah melemah lebih dari 4% dibandingkan awal tahun. Saya juga melihat nilai produk turunan dari Rupiah (NDF) bahkan sudah mencapai 9.700 di Singapura.
Saya sebenarnya sudah lama tidak mengikuti  perkembangan pasar keuangan, karena sekarang lebih banyak berkutat di market sektor riil dan perkembangan nasional serta geo-politik. Bahkan seorang teman berkata: "Si Boy sudah lupa dengan habitat-nya!". Saya mencoba bertanya  tentang apa yang sedang terjadi dengan nilai Rupiah, kepada beberapa rekan lama yang masih berkutat di sektor keuangan. Salah seorang teman mengatakan bahwa penurunan ini hanya bersifat shock depreciation untuk waktu pendek akibat ulah dari spekulan asing di Singapura, kami biasa menyebut spekulan ini dengan istilah BD atau bandar. Mereka inilah yang sanggup menggoyang nilai tukar mata uang, pasar saham, bahkan hingga perekonomian suatu negara, dengan menggunakan kekuatan modal yang mereka miliki.
Cara mereka sekarang menggoyang nilai tukar Rupiah adalah melalui produk turunan (derivative) yang mereka ciptakan sendiri di Singapura -disebut dengan istilah Non-Delivery Forward (NDF)- karena Rupiah tidak boleh diperdagangkan di luar Indonesia. Spekulan tersebut mengambil posisi short untuk instrumen NDF, dan kemudian meng-cover dengan mengambil posisi long untuk aset dalam denominasi Rupiah yang bersifat short term juga, yaitu instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
Bagi orang awam memang ini sulit dipahami karena sangat teknis. Inti dari transaksi yang dilakukan ini adalah spekulan tersebut akan diuntungkan jika nilai Rupiah melemah karena nilai NDF akan naik. Karena kondisi global sedang memburuk, mereka memanfaatkannya dengan menjual instrumen SPN yang dimilikinya dan membawa Dolar kembali ke negaranya, sehingga suplai Dolar menipis di Indonesia, yang pada akhirnya berakibat pada pelemahan nilai Rupiah. Akibatnya nilai NFD akan meningkat di Singapura sehingga spekulan tersebut mampu menciptakan keuntungan dalam waktu singkat. Menggiurkan bukan?
Saya melihat untuk jangka menengah, sepertinya memang akan ada tren pelemahan pada nilai Rupiah mengikuti pelemahan yang terjadi pada nilai Euro. Dollar masih merupakan instrumen yang dipercaya orang saat ini, akibat krisis yang kembali meningkat di Eropa. Krisis Eropa belum menunjukkan jalan keluar, bahkan wacana untuk mengeluarkan Yunani dari Uni Eropa semakin meningkat. Logikanya memang sederhana: Yunani yang mengalami krisis, tetapi kenapa seluruh Eropa ikut merasakan dampak negatifnya, yaitu akibat pelemahan nilai mata uang Euro yang mereka miliki bersama. Apalagi Presiden Prancis yang baru terpilih adalah berasal dari Partai Sosialis yang kemungkinan tidak pro dengan pasar terbuka. Jadi tekanan semakin kuat untuk mengeluarkan Yunani dari zona mata uang Euro.
Dan kelihatannya BI juga sangat enggan untuk melakukan intervensi moneter dengan membanjiri Dolar ke pasar. Instrumen moneter operasi pasar terbuka ini memang sangat beresiko karena dapat menggerus cadangan devisa (FX reserve) Indonesia. Seperti yang terjadi pada tahun 2011 lalu, BI menghabiskan cadangan devisa hingga USD14 miliar (sekitar IDR126 triliun) hanya untuk menahan nilai Rupiah sebesar 1%. Bayangkan berapa banyak yang akan dihabiskan untuk menahan penurunan hingga 4% yang sudah terjadi saat ini.
Belum lagi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini, terutama dalam mengatur investasi asing di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi membuat asing pulang kembali ke negaranya membawa instrumen Dolar yang dimilikinya. Ditambah lagi dengan pemilihan presiden 2014 yang kemungkinan akan memanas, ini akan sangat kontra produktif dengan stabilitas Indonesia.
Jadi sebenarnya sangat banyak alasan yang membuat proyeksi ekonomi Indonesia cenderung negatif ke depan. Alasan paling utama adalah karena memburuknya perekonomian Eropa, ini mungkin adalah hal negatif yang ditimbulkan oleh integrasi perekonomian Indonesia terhadap perekonomian global. Ditambah lagi kondisi internal yang kemungkinan akan tidak stabil secara politik. Satu hal yang masih bisa menolong perekonomian Indonesia adalah, kuatnya konsumsi domestik. Mari siap-siap menghadapi kemungkinan terburuk!

Monday, May 28, 2012

Quo Vadis Pertambangan Indonesia

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 07 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Inti dari peraturan ini adalah pelarangan ekspor 65 jenis bahan tambang mineral, produk mineral tersebut harus diolah hingga tahapan dengan spesifikasi  tertentu sebelum bisa diekspor ke luar negeri. Satu poin yang paling saya tangkap dari regulasi ini adalah, negara kita sudah cukup percaya diri terhadap kekuatannya sendiri.
Kebetulan saya sedang mencoba melihat-lihat data salah satu bahan mineral diantara yang 65 tersebut, terutama berhubungan dengan ekspor, yaitu Bauksit. Temuan saya yang pertama sangat mencengangkan, ternyata 100% bauksit Indonesia adalah untuk tujuan ekspor, dan 80% dari ekspor tersebut ditujukan ke China. Sementara Indonesia sendiri memiliki pabrik peleburan bauksit INALUM, yang bahan mentah bauksitnya justru diimpor dengan harga yang lebih tinggi.
Tahun 2011, ESDM mencatat produksi bauksit sebesar 8,25 juta metrik ton, dan keseluruhannya diekspor. Karena 80% diekspor ke China, berarti ada sekitar 6,6 juta ton bauksit Indonesia di pasar China. Namun ketika saya coba melihat data impor China, tercatat impor bauksit sebanyak 45 juta ton, dan 80% atau sekitar 36 juta ton berasal dari Indonesia. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara ekspor ke China yang dicatat Indonesia dengan impor dari Indonesia yang dicatat oleh China, Indonesia mencatat ekspor 6,6 juta ton, China mencatat impor 36 juta ton. Selisih yang tidak tanggung-tanggung besarnya, hampir 5,5 kali dari yang dicatat Indonesia.
Saya berpikir kok bangsa kita ini sangat aneh ya. Ini pemerintah tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Lantas darimana China memperoleh selisih sebesar itu? Tentu itu adalah ulah pengusaha pertambangan yang tidak melaporkan produksi dan ekspornya, tentu mereka juga tidak membayar royalti ke pemerintah, yang tentu pula harus diganti dengan suap kepada oknum-oknum.
Permasalahan seperti inilah yang mungkin akan bisa diatasi dengan keluarnya regulasi ekspor mineral ini. Belum lagi multiplier effect yang ditimbulkan ke perekonomian Indonesia dengan pembangunan pabrik pengolahan bahan mineral (smelter) di Indonesia. Lapangan kerja pasti juga akan meningkat.
Dan, resistensi sudah muncul dari kalangan LSM, media, aktivis, politisi, dan aparat-aparat yang dirugikan oleh keluarnya peraturan ini. Sebentar lagi kita akan melihat panggung publik, terutama media, akan ramai menolak peraturan ini dengan seolah-olah pro buruh, pro tenaga kerja, pro kepastian usaha, dll. Padahal mereka ini adalah orang-orang bayaran untuk mengamankan kepentingan pengusaha kotor. Opini publik akan digiring oleh media untuk melakukan penolakan. Kita lihat saja apakah pemerintah nanti akan sanggup untuk menahan tekanan publik, tentu dengan resiko kehilangan popularitas.
Apakah kita ingin Indonesia mengalami kejadi seperti yang dialami Australia? Kevin Ruud diturunkan dari kursi Perdana Menteri karena mengeluarkan kebijakan yang tidak populis, yaitu berencana menaikkan pajak tambang hingga 40%. Popularitasnya turun drastis karena tekanan dari media, media yang tentu dibiayai oleh konglomerat-konglomerat pengusaha pertambangan yang dirugikan bila regulasi tersebut dikeluarkan. Mari kita pikirkan sendiri!

Monday, May 14, 2012

Manusia = Binatang (?)


Katanya manusia itu terlahir putih bersih tanpa noda. Ah siapa bilang begitu!  Saya bilang tidak begitu. Coba anda kembalikan ke diri masing-masing dan jawab dengan jujur. Dorongan untuk berbuat yang negatif itu jauh lebih kuat daripada dorongan untuk berbuat yang positif, bukan? Silahkan jawab, tidak usah malu.
Saya punya kesimpulan subjektif bahwa default mode dari manusia itu adalah jahat, kotor, dan hitam. Berarti tidak ada orang baik dong di dunia ini? Ada kok, tetapi mereka itu bukan berarti default mode-nya adalah baik. Tidak! Mereka default modenya tetap jahat, kotor, dan hitam. Dengan kata lain, dengan manusia diam saja, tidak berbuat apa-apa, manusia itu sudah kotor. Posisi netral dari manusia itu adalah negatif.
Tetapi kenapa ada yang bisa jadi orang yang baik -walaupun bisa jadi itu hanyalah kamuflase sosial, setidaknya begitulah yang mereka tampilkan dalam kehidupan- ? Dan itu adalah wajar saja, bukankan hidup juga merupakan sandiwara, hidup merupakan drama. Kehidupan yang dijalani oleh setiap orang merupakan peran yang dimainkannya, terserah mau memilih peran sebagai apa.
Ya, mereka bisa jadi orang baik karena mereka berusaha memutihkan diri, mereka berusaha melawan keinginan-keinginan kotor atau jahat. Dan tentunya itu adalah pekerjaan yang sangat susah, proses yang melewati batas kemampuan manusia.
Kehidupan yang dijalani manusia menunjukkan sifat yang mirip dengan sifat natural dari warna hitam. Hitam itu sangat susah untuk menjadi putih, sedangkan putih itu sangat mudah untuk menjadi hitam. Demikian juga hidup, untuk menjadi jahat itu sangat gampang, tetapi untuk menjadi orang baik itu sangat susah, godaannya terlalu menggiurkan.
Kalau begitu, manusia tidak berbeda dong dengan binatang? Betul, manusia memang tidak berbeda dengan binatang, manusia hanya merasa diri lebih superior daripada binatang saja. Binatang sendiri juga mungkin merasa lebih superior kok daripada manusia. Mungkin binatang juga menganggap manusia itu adalah makhluk yang hina.
Berarti kesimpulannya bahwa jahat itu adalah manusia, dan baik itu bukan manusia. Kalau anda ingin menjadi manusia, silahkan berbuat jahat, silahkan menuruti hawa nafsu, karena itu adalah manusia, manusia yang tidak berbeda dengan binatang tentunya. Atau hanya saya saja yang merasa sama dengan binatang?

*thanks Etni for our discussion! :p

Wednesday, May 9, 2012

Menanggapi Sentimen Anti Asing di Indonesia

Sentimen anti asing semakin meningkat belakangan ini di Indonesia, khususnya dalam bisnis. Entah kenapa, sebagian masyarakat kita sangat alergi dengan asing, alasannya saya tidak tahu. Atau memang tidak ada alasan untuk itu?
Ada dua sektor utama yang menarik perhatian saya belakangan ini, terutama berhubungan dengan sentimen anti asing tersebut, yaitu: perbankan dan pertambangan. Pada dua sektor tersebut, gejala deliberalisasi mulai kelihatan. Pemerintah juga terlihat sudah serius untuk membenahi sektor ini. Untuk hal ini, saya memberikan apresiasi terhadap peran media dalam pembentukan opini publik yang mengusung semangat nasionalisme. Walaupun memang pemberitaannya sama sekali tidak berimbang.
Keseharian saya banyak berdekatan dengan sudut pandang orang asing, mereka adalah investor potensial yang sedang melakukan penjajakan untuk berinvestasi di Indonesia dan investor yang sudah existing berbisnis di Indonesia. Karenanya, saya bisa mengetahui sudut pandang mereka terhadap Indonesia. Namun di sisi lain, darah saya adalah Indonesia. Saya juga merupakan seorang Warga Negara Indonesia. Saya mengalami sedikit dilema dalam menghadapi paradox ini.
Bila dilihat dari fundamental investasi, dua variable utama yang paling penting adalah return (keuntungan) dan risk (resiko). Untuk potensi return berinvestasi di Indonesia, kita tidak perlu bahas lagi. Saya rasa kita sudah sepakat bahwa margin berbisnis di Indonesia itu masih sangat tinggi bila dibandingkan negara-negara lain. Kita bandingkan saja dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang pertumbuhan bisnisnya cenderung sudah stagnan. Berbisnis di negara-negara tersebut cenderung sudah sangat ketat dalam hal persaingan sehingga margin yang diperoleh juga sudah tipis. Itulah yang menjadi alasan kenapa Indonesia dilirik oleh investor yang punya modal.
Resiko adalah permasalahan utama dalam berbisnis di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara yang sangat kompleks, potensi resikonya sangat besar. Baru beberapa saat Indonesia mendapat rating investment grade dari Fitch dan Moody’s, sudah muncul berbagai masalah yang membuat investor asing kembali mempertanyakan status tersebut. Demo buruh di berbagai tempat yang terjadi tentu masih kita ingat, ini sangat kontras dengan rating investment grade. Stabilitas negara juga sempat goyang akibat isu subsidi BBM yang maju mundur. Bahkan sampai sekarang isu ini masih terus panas, pemerintah belum mampu memberikan keputusan yang solutif. Tidak heran jika S&P membatalkan rencana untuk memasukkan Indonesia juga ke dalam rating Investment Grade.
Berhubungan dengan resiko, sebenarnya yang paling dibutuhkan investor adalah kepastian, sehingga mereka dapat mengukur resiko yang akan mereka hadapi. Sayangnya di Indonesia, ketidakpastian itu juga merupakan bagian dari resiko. Pemerintah belum mampu memberikan stabilitas di Indonesia. Ini yang membuat  para investor asing itu selalu berpikir keras dulu sebelum berani memasukkan dana hingga miliaran dolar ke Indonesia.
Kalau kita mau berpikir realistis dengan mengesampingkan kepicikan berpikir yang mengusung isu nasionalisme, kita sangat membutuhkan keberadaan investor asing itu. negara kita belum memiliki likuiditas yang cukup untuk mengelola kekayaannya.
Saya jadi teringat dengan kasus takeover saham Danamon oleh DBS Group. Publik ramai mendengung-dengungkan isu nasionalisme yang tidak relevan menurut saya. Toh transaksi tersebut adalah perpindahan kepemilikan dari asing terhadap asing, jadi tidak ada perpindahan kepemilikan dari lokal ke asing. Ini transaksi juga nilainya sangat besar, sekitar USD 7,2 miliar. Memang ada investor lokal yang sanggup membeli Danamon senilai itu? Sedangkan Bank Mutiara milik LPS saja tidak ada investor lokal yang mau membeli, padahal nilainya tidak sampai USD 1 miliar, terlepas dari bank tersebut memang adalah bermasalah. Kita memang perlu belajar untuk lebih realistis, kita harus mampu mengukur kemampuan kita sejauh mana.
Saya sering mendengar orang mengatakan agar kita jangan terlalu menganggap asing lebih hebat dari kita. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Dengan rendah hati, terpaksa harus kita akui bahwa mereka jauh di depan kita dalam banyak hal. Kita perlu banyak belajar dari kemajuan yang sudah mereka rasakan. Adalah sangat naif jika kita meniadakan hal tersebut atas nama keangkuhan kita sebagai bangsa yang katanya besar dan kaya.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab negara kita tertinggal dalam banyak hal. Dari dahulu, pemikiran kita dicekoki dengan paham bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Ini membuat bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang pemalas karena menganggap diri sudah kaya. Toh tanpa bekerja keras juga kita masih bisa bertahan hidup. Jepang tumbuh menjadi negara yang maju karena mereka sadar bahwa negara mereka adalah negara yang susah. Mereka butuh kerja keras walaupun hanya untuk sekedar dapat bertahan hidup.
Kembali ke topik awal, lantas apakah kita harus membebaskan asing untuk menguasai Indonesia? Bukan seperti itu juga yang ideal menurut saya. Sampai sekarang saya masih menganggap bahwa titik ideal dalam segala hal itu adalah ketika kita mencapai titik keseimbangan atau balance. Berarti dalam hal ini, pola yang ideal adalah ketika kekuatan atau porsi antara berbagai pihak itu seimbang. Nah yang menjadi permasalahan sekarang adalah, seperti apakah yang seimbang itu? Apakah komposisi 50:50 adalah yang disebut dengan seimbang? Tidak, makna keseimbangan tidaklah sesederhana dan segampang itu.
Menurut saya, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat saat ini. Asing tersebut memang perlu dikontrol, tetapi bukan berarti kita harus meniadakan keberadaan mereka. Disinilah butuh peran pemerintah yang visioner untuk membuat regulasi yang bukan sekedar baik, tetapi juga harus bijaksana. Namun yang menjadi masalah lagi adalah, apakah ukuran kebijakan yang bijaksana itu? Bukankah bijaksana menurut satu pihak belum tentu bijaksana menurut pihak yang lain? Apakah memang ada standar atau konsensus untuk mengukur hal tersebut? Ah, segala sesuatunya memang sangat rumit kalau sudah melibatkan manusia dengan berbagai keberagamannya!!