Pages

Ads 468x60px

Wednesday, May 9, 2012

Menanggapi Sentimen Anti Asing di Indonesia

Sentimen anti asing semakin meningkat belakangan ini di Indonesia, khususnya dalam bisnis. Entah kenapa, sebagian masyarakat kita sangat alergi dengan asing, alasannya saya tidak tahu. Atau memang tidak ada alasan untuk itu?
Ada dua sektor utama yang menarik perhatian saya belakangan ini, terutama berhubungan dengan sentimen anti asing tersebut, yaitu: perbankan dan pertambangan. Pada dua sektor tersebut, gejala deliberalisasi mulai kelihatan. Pemerintah juga terlihat sudah serius untuk membenahi sektor ini. Untuk hal ini, saya memberikan apresiasi terhadap peran media dalam pembentukan opini publik yang mengusung semangat nasionalisme. Walaupun memang pemberitaannya sama sekali tidak berimbang.
Keseharian saya banyak berdekatan dengan sudut pandang orang asing, mereka adalah investor potensial yang sedang melakukan penjajakan untuk berinvestasi di Indonesia dan investor yang sudah existing berbisnis di Indonesia. Karenanya, saya bisa mengetahui sudut pandang mereka terhadap Indonesia. Namun di sisi lain, darah saya adalah Indonesia. Saya juga merupakan seorang Warga Negara Indonesia. Saya mengalami sedikit dilema dalam menghadapi paradox ini.
Bila dilihat dari fundamental investasi, dua variable utama yang paling penting adalah return (keuntungan) dan risk (resiko). Untuk potensi return berinvestasi di Indonesia, kita tidak perlu bahas lagi. Saya rasa kita sudah sepakat bahwa margin berbisnis di Indonesia itu masih sangat tinggi bila dibandingkan negara-negara lain. Kita bandingkan saja dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang pertumbuhan bisnisnya cenderung sudah stagnan. Berbisnis di negara-negara tersebut cenderung sudah sangat ketat dalam hal persaingan sehingga margin yang diperoleh juga sudah tipis. Itulah yang menjadi alasan kenapa Indonesia dilirik oleh investor yang punya modal.
Resiko adalah permasalahan utama dalam berbisnis di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara yang sangat kompleks, potensi resikonya sangat besar. Baru beberapa saat Indonesia mendapat rating investment grade dari Fitch dan Moody’s, sudah muncul berbagai masalah yang membuat investor asing kembali mempertanyakan status tersebut. Demo buruh di berbagai tempat yang terjadi tentu masih kita ingat, ini sangat kontras dengan rating investment grade. Stabilitas negara juga sempat goyang akibat isu subsidi BBM yang maju mundur. Bahkan sampai sekarang isu ini masih terus panas, pemerintah belum mampu memberikan keputusan yang solutif. Tidak heran jika S&P membatalkan rencana untuk memasukkan Indonesia juga ke dalam rating Investment Grade.
Berhubungan dengan resiko, sebenarnya yang paling dibutuhkan investor adalah kepastian, sehingga mereka dapat mengukur resiko yang akan mereka hadapi. Sayangnya di Indonesia, ketidakpastian itu juga merupakan bagian dari resiko. Pemerintah belum mampu memberikan stabilitas di Indonesia. Ini yang membuat  para investor asing itu selalu berpikir keras dulu sebelum berani memasukkan dana hingga miliaran dolar ke Indonesia.
Kalau kita mau berpikir realistis dengan mengesampingkan kepicikan berpikir yang mengusung isu nasionalisme, kita sangat membutuhkan keberadaan investor asing itu. negara kita belum memiliki likuiditas yang cukup untuk mengelola kekayaannya.
Saya jadi teringat dengan kasus takeover saham Danamon oleh DBS Group. Publik ramai mendengung-dengungkan isu nasionalisme yang tidak relevan menurut saya. Toh transaksi tersebut adalah perpindahan kepemilikan dari asing terhadap asing, jadi tidak ada perpindahan kepemilikan dari lokal ke asing. Ini transaksi juga nilainya sangat besar, sekitar USD 7,2 miliar. Memang ada investor lokal yang sanggup membeli Danamon senilai itu? Sedangkan Bank Mutiara milik LPS saja tidak ada investor lokal yang mau membeli, padahal nilainya tidak sampai USD 1 miliar, terlepas dari bank tersebut memang adalah bermasalah. Kita memang perlu belajar untuk lebih realistis, kita harus mampu mengukur kemampuan kita sejauh mana.
Saya sering mendengar orang mengatakan agar kita jangan terlalu menganggap asing lebih hebat dari kita. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Dengan rendah hati, terpaksa harus kita akui bahwa mereka jauh di depan kita dalam banyak hal. Kita perlu banyak belajar dari kemajuan yang sudah mereka rasakan. Adalah sangat naif jika kita meniadakan hal tersebut atas nama keangkuhan kita sebagai bangsa yang katanya besar dan kaya.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab negara kita tertinggal dalam banyak hal. Dari dahulu, pemikiran kita dicekoki dengan paham bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Ini membuat bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang pemalas karena menganggap diri sudah kaya. Toh tanpa bekerja keras juga kita masih bisa bertahan hidup. Jepang tumbuh menjadi negara yang maju karena mereka sadar bahwa negara mereka adalah negara yang susah. Mereka butuh kerja keras walaupun hanya untuk sekedar dapat bertahan hidup.
Kembali ke topik awal, lantas apakah kita harus membebaskan asing untuk menguasai Indonesia? Bukan seperti itu juga yang ideal menurut saya. Sampai sekarang saya masih menganggap bahwa titik ideal dalam segala hal itu adalah ketika kita mencapai titik keseimbangan atau balance. Berarti dalam hal ini, pola yang ideal adalah ketika kekuatan atau porsi antara berbagai pihak itu seimbang. Nah yang menjadi permasalahan sekarang adalah, seperti apakah yang seimbang itu? Apakah komposisi 50:50 adalah yang disebut dengan seimbang? Tidak, makna keseimbangan tidaklah sesederhana dan segampang itu.
Menurut saya, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat saat ini. Asing tersebut memang perlu dikontrol, tetapi bukan berarti kita harus meniadakan keberadaan mereka. Disinilah butuh peran pemerintah yang visioner untuk membuat regulasi yang bukan sekedar baik, tetapi juga harus bijaksana. Namun yang menjadi masalah lagi adalah, apakah ukuran kebijakan yang bijaksana itu? Bukankah bijaksana menurut satu pihak belum tentu bijaksana menurut pihak yang lain? Apakah memang ada standar atau konsensus untuk mengukur hal tersebut? Ah, segala sesuatunya memang sangat rumit kalau sudah melibatkan manusia dengan berbagai keberagamannya!!

0 comments: