Pages

Ads 468x60px

Thursday, July 12, 2012

Pilkada DKI dan Kelas Menengah Indonesia


Perhelatan pilkada DKI memang belum berakhir, tetapi kita sudah dapat menarik satu gambaran umum dari hasil pada putaran pertama ini. Kemenangan Jokowi di putaran pertama, dengan selisih sekitar 9% dengan incumbent Fauzi Bowo, memberikan satu pelajaran untuk masyarakat Indonesia. Memang hasil tersebut masih merupakan perhitungan quick count oleh lembaga survei, namun saya rasa tidak lah terlalu premature jika kita langsung menarik kesimpulan dari hasil ini.
Ternyata figure yang disukai masyarakat sekarang adalah sosok yang bisa menempatkan diri merakyat, sederhana, dan tidak terikat dengan birokrasi. Itulah sosok yang ada pada diri Jokowi. Dan masyarakat juga tampaknya sudah tidak terlalu terikat dengan kekuatan partai, mereka lebih melihat ke sosok personal. Hal itu terbukti dengan perolehan suara Alex Nordin dan Hidayat Nurwahid yang sangat rendah, di luar dugaan para analis dan pengamat.
Dari sini juga kita bisa menebak gambaran pemilihan calon Presiden 2014 nanti. Sangat besar peluang Dahlan Iskan untuk terpilih menjadi Presiden, melihat image-nya yang mirip dengan Jokowi. Tampaknya figure yang hebat, pintar, cerdas, high-profile, dan santun, tidak terlalu mendapat tempat lagi di hati masyarakat. Kecuali ada perubahan peta politik dalam setahun ke depan, yang memaksa kita harus mengubah semua asumsi yang ada.
Hal yang menarik dari pesta demokrasi ini adalah angka golput yang masih tinggi. Lembaga Survei Indobarometer mengatakan bahwa jumlah golput sekitar 37,05% dari total jumlah pemilih, naik 2% dibandingkan pilkada DKI 2007. Sangat mengejutkan memang, padahal pemilih sebenarnya nyaris tidak memiliki alasan lagi untuk tidak memilih. Toh, pasangan calon yang ada sudah cukup mewakili semua golongan masyarakat. Jika mereka tidak senang dengan calon dari partai, ada pilihan calon Independen.
Saya teringat dengan penggolongan masyarakat kapitalis menurut Karl Marx. Ada satu golongan masyarakat yang disebut dengan middle class, golongan ini letaknya dibawah kaum Borjuis dan diatas kaum Proletar. Golongan kelas menengah ini sangat menarik pembahasan pengikut teori Marxist. Beberapa tahun belakangan di Amerika Utara, dikatakan bahwa golongan kelas ini menurun, namun di Indonesia tren yang ada adalah peningkatan. Bank Dunia menyebutkan bahwa ada sekitar 56,5% dari populasi penduduk Indonesia yang digolongkan ke dalam kelas menengah.
Sesungguhnya golongan ini merupakan penyakit atau musuh untuk perubahan. Mereka ini suka dengan status quo, jangan harapkan mereka untuk melakukan suatu revolusi. Golongan kelas ini lah yang banyak tidak memberikan suara, mereka cenderung apatis secara politik. Mereka cenderung tidak banyak bersuara, prinsip mereka adalah yang penting kehidupan mereka tidak diganggu, yang penting masih bisa hidup berkecukupan.
Salah satu karakter mereka adalah tingkat konsumsi yang tinggi. Golongan inilah yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia, terlihat dengan dengan tingkat konsumsi domestik Indonesia yang sangat tinggi. Bila kita lihat ke dalam struktur PDB Indonesia, sekitar 65% adalah berasal dari konsumsi. Mereka inilah yang membuat penuh mall setiap hari. Mereka inilah yang senang menghabiskan waktu dengan nongkrong di café.
Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa golongan menengah tersebut adalah buruk, tidak sama sekali. Toh mereka itu sangat berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mereka lah orang yang dengan lahap menghabiskan berbagai macam fasilitas kredit yang disediakan oleh perbankan, terutama kredit kepemilikan rumah dan kenderaan. Mereka lah yang doyan gonta-ganti gadget.
Jadi, jika anda ingin berbisnis di Indonesia, silahkan lirik pangsa pasar kelas menengah ini. Silahkan sasar berbagai kebutuhan mereka. Consumo Ergo Sum! (I Consume, Therefore I’m!).