Pages

Ads 468x60px

Saturday, September 22, 2012

Jokowi dan Mimpi Masyarakat Utopia


Pasangan Joko “Jokowi” Widodo dan Basuki “Ahok” Purnama sudah terpilih menjadi pemenang pilkada DKI versi quick count. Jokowi memang adalah tokoh fenomenal yang susah untuk dibendung langkahnya. Publik sudah terlalu menyukai figurnya yang sederhana. Saya tidak tahu apakah karena Jokowi memang terlalu hebat, atau hanya karena Fauzi Bowo terlalu buruk untuk Jakarta.
Jokowi memang muncul sebagai anti-tesis dari pemerintahan saat ini. Jokowi mampu menimbulkan harapan baru untuk warga Jakarta. Figur yang menempatkan diri sebagai tokoh yang tersakiti, memang cepat mendapatkan simpati dan popularitas di masyarakat Indonesia. Ini juga yang terjadi dengan Presiden SBY tahun 2004 sehingga popularitasnya cepat meroket dan terpilih menjadi presiden.
Namun melihat orang yang ada dibelakang Jokowi, naluri skeptis saya kembali muncul. Kita tidak boleh lupa, ada dua Partai Politik dan beberapa orang tokoh besar di belakangnya. Seorang teman jurnalis yang merupakan fans Jokowi, mengatakan kepada saya bahwa partai atau tokoh tersebut tidak akan mungkin mampu melakukan intervensi kepada Jokowi selama menjadi gubernur, “Jokowi pasti tidak akan mau!”
Ah saya tidak setuju dengan pendapat itu, hal itu hanyalah ada dalam konsep masyarakat Utopia yang diciptakan Thomas More tahun 1516, itu terlalu ideal untuk dunia ini. Kita terlalu terbuai dengan figur sehingga kehilangan objektivitas. Bukankah gambaran masyakat Utopis itu hanya dalam bentuk imajiner saja, tidak akan pernah kita temukan di dunia nyata. Gambaran dimana setiap individu dalam kelompok sosial terhubung dalam sebuah jaringan membentuk sebuah kecerdasan kolektif.
Kita harus sadar, dalam setiap revolusi biasanya akan muncul penumpang gelap yang ingin ikut mencapai ambisi pribadi, kelompok atau golongannya. Saya sudah menyaksikan sendiri, beberapa pihak sudah mulai ikut menumpang dalam kemenangan Jokowi. Saya sudah melihat ada Partai Politik yang mengklaim diri ikut menyukseskan kemenangan Jokowi.
Lihat saja mundur ke belakang, reformasi tahun 1998 juga ditumpangi oleh beberapa tokoh yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Namun penumpang gelap tersebut mayoritas saat ini sudah tersisih dengan sendirinya karena memang tidak mendapatkan simpati dari rakyat.
Suka atau tidak, sadar atau tidak, semua hal dalam hidup ini adalah tentang kepentingan, kepentingan yang seharusnya juga dilatarbelakangi uang dan kekuasaan. Hal ideal yang sempurna mungkin tak akan bisa kita temukan di dunia.
Tokoh yang ada di belakang Jokowi itu secara hitung-hitungan mungkin memang sangat kecil peluangnya untuk kembali menjadi pemimpin di negeri ini. Yang satu mungkin sudah terlalu kadaluwarsa, sedangkan yang satu lagi sudah kehilangan reputasi karena kerap dihubungkan dengan penculikan dan penembakan aktivis-aktivis dan mahasiswa tahun 1998, bahkan publik sudah terlanjur menyebutnya sebagai penjahat kemanusiaan.
Ada banyak cara untuk menjadi penguasa, tidak harus selalu dengan tampil menjadi pemimpin di depan. Ada penguasa yang memerintah dibelakang layar dengan menempatkan tokoh yang dicintai publik sebagai boneka terdepan. Padahal sebenarnya, orang dibelakang layar itulah yang mengontrol semua kebijakan di belakang.
Apakah memang Jokowi sudah dipersiapkan untuk hal yang lebih besar lagi di depan? Mungkinkah Jokowo sudah dipersiapkan untuk pilpres 2014 atau 2019? Bersiaplah untuk menghadapi tokoh-tokoh fenomenal lain, seperti Dahlan Iskan juga sangat layak diperhitungkan.
Saya bukan bermaksud untuk mengatakan Jokowi akan sama saja dengan politisi atau pemimpin yang lain. Saya hanya sekedar mengingatkan agar kita sadar dan tidak kehilangan objektivitas. Kita jangan terlena dengan figur yang berhasil menyentuh emosional manusia. Saya sendiri juga sangat mengharapkan dan mendukung beliau untuk membawa perubahan kepada Jakarta, namun tetap berusaha berpijak pada fakta dengan mengesampingkan emosional.
Seorang penulis realist besar dari Portugal José Maria de Eça de Queiroz (1840 -1900) berkata: “Politicians and diapers have one thing in common. They should both be changed regularly, and for the same reason.”

Wednesday, September 12, 2012

Indonesia dan Mimpi Go - International


Dalam waktu belakangan ini, kita mendengar kabar tentang beberapa perusahaan nasional yang sudah mulai berani untuk go-international. Garuda dikabarkan sudah menandatangani kontrak menjadi sponsor untuk Liverpool. Dan yang paling terbaru, Maskapai Lion Air akan ekspansi ke Malaysia, melalui pembentukan anak usaha yang dinamai dengan Malindo Airways. Lion Air menggandeng salah satu perusahaan BUMN Malaysia untuk berbagi kepemilikan dalam maskapai tersebut.
Sebenarnya perusahan-perusahaan Indonesia bisa kita katakan sudah terlambat untuk ekspansi internasional, karena dari dahulu kita punya modal untuk itu. Ketiadaan peran pemerintah mungkin menjadi penyebabnya. Pihak swasta dan BUMN dibiarkan mencari jalannya sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Bersukur kita memiliki sosok seperti Emirsyah Satar dan Rusdi Kirana.
Berbicara tentang investasi pemerintah secara global, kita seharusnya bisa berharap banyak kepada Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Namun sejak dibentuk tahun 2006, lembaga ini belum menunjukkan sesuatu yang istimewa. Mungkin itu adalah akibat ketiadaan dukungan politik dari pemerintah pusat.
Karena lembaga investasi ini menggunakan uang pemerintah pusat, jadi prosesnya sangat panjang karena harus melalui proses politik di DPR. Dalam perebutan saham Newmont antara pemerintah pusat melalui PIP, dengan Grup Bakrie, pemerintah malah kalah. Padahal Sri Mulyani, yang diteruskan oleh Agus Martowardojo, sudah mati-matian melawan Bakrie. Ini memang bukan sekedar proses bisnis biasa, namun lebih kuat unsur politiknya. Ini yang mungkin membuat saya terkadang benci dengan politik.
Berdasarkan data dari SWF Institute, PIP dengan dana kelolaan USD0,3 miliar (sekitar IDR280 miliar), hanya berada pada posisi 54 dari seluruh sovereign fund yang ada di seluruh dunia. Mari kita bandingkan dengan Temasek Singapore yang memiliki aset USD157.5 miliar (IDR1.500 triliun) dan Khazanah Malaysia yang memiliki aset USD36,8 miliar (IDR350 triliun). Bahkan kita kalah dengan sovereign fund yang dimiliki oleh pemerintah Timor Leste.

TABLE: Selected Countries - Sovereign Wealth Funds by Assets Under Management

Rank
Fund Name
Country
Asset (USD billion)
1.        
Abu Dhabi Investment Authority
Uni Arab Emirates
627
2.        
Government Pension Fund - Global
Norway
593
3.        
SAFE Investment Company
China
567.9
4.        
SAMA Foreign Holdings
Saudi Arabia
532.8
6.
Kuwait Investment Authority
Kuwait
296
9.
Temasek Holdings
Singapore
157.5
12.
Qatar Investment Authority
Qatar
100
22.
Khazanah Nasional
Malaysia
36.8
34.
Timor-Leste Petroleum Fund
East Timor
10.2
54.
Pusat Investasi Pemerintah
Indonesia
0.3
SOURCE: Sovereign Wealth Fund (SWF) Institute

Kebanyakan lembaga-lembaga investasi pemerintah asing tersebut memiliki portofolio di Indonesia. Abu Dhabi Investment Authority masuk ke Indonesia tahun 2008 melalui Mubadala Petroleum yang menguasai 48,3% Pearl Energy dari Grup Austindo yang dimiliki Keluarga Tahija, dengan nilai transaksi sekitar USD417,7 juta. Blok offshore ini merupakan salah satu yang terbesar di sektor minyak dan gas bumi di Indonesia yang menguasai 2.345 km2 area.
Tak usah jauh-jauh, mari kita lihat Singapura lewat Temasek Holdings. Grup ini mungkin merupakan salah satu investment fund yang paling agresif di Indonesia, melalui penguasaan saham Telkomsel, Danamon, dan DBS Indonesia. Belakangan ini juga Temasek semakin agresif memasuki bisnis sektor energi di Indonesia, namun publik tidak banyak mengetahui.
Khazanah Malaysia masuk ke Indonesia melalui CIMB Group yang menguasai kepemilikan di Bank CIMB Niaga dan Axiata Grup yang menguasai kepemilikan di operator seluler XL.
Saya bermimpi Indonesia suatu saat memiliki raksasa-raksasa perusahaan yang mengglobal, melalui suatu government investment holding arm. Kita hidup di zaman globalisasi kapitalis, dimana kekuatan modal menjadi penggerak utama perekonomian. Suka tidak suka, kita harus menerima ini jika ingin maju. Kecuali kita mau menjadi negara yang terkungkung, yang tidak bergaul dengan internasional. Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya menjadi jago kandang saja.
Menurut saya, sudah tidak saatnya lagi kita berdebat tentang baik buruknya suatu sistem perekonomian. Apakah dia sistem kapitalis, komunis, ekonomi kerakyatan, atau apalah itu namanya. Toh semua sistem pada akhirnya bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Mungkin berdebat tentang hal itu akan sama saja dengan berdebat masalah agama.
Seseorang berkata kepada saya “Ngapain kita ekspansi ke internasional, sementara pasar dalam negeri saja belum bisa digarap dengan maksimal!”. Ah, saya hanya bisa mengelus dada melihat pendapat pesimis yang picik seperti ini. Pantas saja kita masih susah untuk maju, ternyata pemikiran orang yang berpendidikan saja masih seperti ini. :p