Pages

Ads 468x60px

Wednesday, September 12, 2012

Indonesia dan Mimpi Go - International


Dalam waktu belakangan ini, kita mendengar kabar tentang beberapa perusahaan nasional yang sudah mulai berani untuk go-international. Garuda dikabarkan sudah menandatangani kontrak menjadi sponsor untuk Liverpool. Dan yang paling terbaru, Maskapai Lion Air akan ekspansi ke Malaysia, melalui pembentukan anak usaha yang dinamai dengan Malindo Airways. Lion Air menggandeng salah satu perusahaan BUMN Malaysia untuk berbagi kepemilikan dalam maskapai tersebut.
Sebenarnya perusahan-perusahaan Indonesia bisa kita katakan sudah terlambat untuk ekspansi internasional, karena dari dahulu kita punya modal untuk itu. Ketiadaan peran pemerintah mungkin menjadi penyebabnya. Pihak swasta dan BUMN dibiarkan mencari jalannya sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Bersukur kita memiliki sosok seperti Emirsyah Satar dan Rusdi Kirana.
Berbicara tentang investasi pemerintah secara global, kita seharusnya bisa berharap banyak kepada Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Namun sejak dibentuk tahun 2006, lembaga ini belum menunjukkan sesuatu yang istimewa. Mungkin itu adalah akibat ketiadaan dukungan politik dari pemerintah pusat.
Karena lembaga investasi ini menggunakan uang pemerintah pusat, jadi prosesnya sangat panjang karena harus melalui proses politik di DPR. Dalam perebutan saham Newmont antara pemerintah pusat melalui PIP, dengan Grup Bakrie, pemerintah malah kalah. Padahal Sri Mulyani, yang diteruskan oleh Agus Martowardojo, sudah mati-matian melawan Bakrie. Ini memang bukan sekedar proses bisnis biasa, namun lebih kuat unsur politiknya. Ini yang mungkin membuat saya terkadang benci dengan politik.
Berdasarkan data dari SWF Institute, PIP dengan dana kelolaan USD0,3 miliar (sekitar IDR280 miliar), hanya berada pada posisi 54 dari seluruh sovereign fund yang ada di seluruh dunia. Mari kita bandingkan dengan Temasek Singapore yang memiliki aset USD157.5 miliar (IDR1.500 triliun) dan Khazanah Malaysia yang memiliki aset USD36,8 miliar (IDR350 triliun). Bahkan kita kalah dengan sovereign fund yang dimiliki oleh pemerintah Timor Leste.

TABLE: Selected Countries - Sovereign Wealth Funds by Assets Under Management

Rank
Fund Name
Country
Asset (USD billion)
1.        
Abu Dhabi Investment Authority
Uni Arab Emirates
627
2.        
Government Pension Fund - Global
Norway
593
3.        
SAFE Investment Company
China
567.9
4.        
SAMA Foreign Holdings
Saudi Arabia
532.8
6.
Kuwait Investment Authority
Kuwait
296
9.
Temasek Holdings
Singapore
157.5
12.
Qatar Investment Authority
Qatar
100
22.
Khazanah Nasional
Malaysia
36.8
34.
Timor-Leste Petroleum Fund
East Timor
10.2
54.
Pusat Investasi Pemerintah
Indonesia
0.3
SOURCE: Sovereign Wealth Fund (SWF) Institute

Kebanyakan lembaga-lembaga investasi pemerintah asing tersebut memiliki portofolio di Indonesia. Abu Dhabi Investment Authority masuk ke Indonesia tahun 2008 melalui Mubadala Petroleum yang menguasai 48,3% Pearl Energy dari Grup Austindo yang dimiliki Keluarga Tahija, dengan nilai transaksi sekitar USD417,7 juta. Blok offshore ini merupakan salah satu yang terbesar di sektor minyak dan gas bumi di Indonesia yang menguasai 2.345 km2 area.
Tak usah jauh-jauh, mari kita lihat Singapura lewat Temasek Holdings. Grup ini mungkin merupakan salah satu investment fund yang paling agresif di Indonesia, melalui penguasaan saham Telkomsel, Danamon, dan DBS Indonesia. Belakangan ini juga Temasek semakin agresif memasuki bisnis sektor energi di Indonesia, namun publik tidak banyak mengetahui.
Khazanah Malaysia masuk ke Indonesia melalui CIMB Group yang menguasai kepemilikan di Bank CIMB Niaga dan Axiata Grup yang menguasai kepemilikan di operator seluler XL.
Saya bermimpi Indonesia suatu saat memiliki raksasa-raksasa perusahaan yang mengglobal, melalui suatu government investment holding arm. Kita hidup di zaman globalisasi kapitalis, dimana kekuatan modal menjadi penggerak utama perekonomian. Suka tidak suka, kita harus menerima ini jika ingin maju. Kecuali kita mau menjadi negara yang terkungkung, yang tidak bergaul dengan internasional. Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya menjadi jago kandang saja.
Menurut saya, sudah tidak saatnya lagi kita berdebat tentang baik buruknya suatu sistem perekonomian. Apakah dia sistem kapitalis, komunis, ekonomi kerakyatan, atau apalah itu namanya. Toh semua sistem pada akhirnya bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Mungkin berdebat tentang hal itu akan sama saja dengan berdebat masalah agama.
Seseorang berkata kepada saya “Ngapain kita ekspansi ke internasional, sementara pasar dalam negeri saja belum bisa digarap dengan maksimal!”. Ah, saya hanya bisa mengelus dada melihat pendapat pesimis yang picik seperti ini. Pantas saja kita masih susah untuk maju, ternyata pemikiran orang yang berpendidikan saja masih seperti ini. :p

0 comments: