Pages

Ads 468x60px

Monday, September 9, 2013

Overconfidence Effect in Economy

"Our country was too confident. We feel highly idolized by foreign countries. When in fact, they (foreigners) reluctant to engage with Indonesia ". This quote I heard about five years ago from my professor in class. He is one of the respected economic technocrats in this country.

The statement was said by Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. He was Minister for Economic Affairs in 2001-2004. An era when Indonesia's economy is still full of problems, due to the debt pile of monetary crisis in 1998. No wonder he was dealing with a lot of foreign creditors who lend money to Indonesia, such as the IMF, CGI, and the Paris Club.

Actually at that time I did not agree with his words. I know that Indonesia is a big country with abundant natural resources. There is no reason to say that foreigners do not need Indonesia. But once I saw what happened later with Indonesia, I feel what he said is true.

The phenomenon of excessive self-confidence is actually explained in behavioral economics (finance) theory. This is one example of bias in human life called the overconfidence effect. It is a confidence level that exceeds the actual situation based on rationality. This behavioral theory is likely to ignore the basic assumption in economics that people are rational in economic decisions.

An employee tends to rate themselves higher, thus demanding a bigger paycheck. Bubble in the stock markets and commodity prices also triggered by excessive optimism. Every economic crisis is also often triggered by this phenomenon.

It also happens with Indonesian after investment grade rating. We believe Indonesia is a new idol in the world. Let’s call it the investor darling. The world praised Indonesia's economic strength from the influence of American and European crisis. Indonesia had felt above the wind. As a result, the government, consciously or not, made many painful policies about foreign. 

Politicians also inflaming the spirit of anti-foreign. Just for a simple reason: public loves anti-foreign issue. Politicians who seem anti-foreign will have greater opportunities to be chosen by innocent people in the next election.

Look at how we really ignore the warning that has been shown by economic indicators since Q2 of this year. Look at how we ignore the warning from S & P when revised Indonesia's outlook from positive to stable.

The results we can see today. Our economy is depressed when they do the small attacks by carried out the money from Indonesia.

I always say that we should build Indonesia with a clear perspective, not only on a narrow nationalism. Compartmentalization between foreign and local is very unfair. I have seen nationalism is nothing more than jargon is echoed by some local businessmen to take advantage personally or groups. After all, foreign companies are also more devoted than local companies when paying tax.

The foreign direct investment has also slowed. Although it was predicted to be the engine of economic growth, reduce dependence on domestic consumption. Protectionist policies in the name of nationalism to be the cause.

And now, they turn around suddenly. They scream negative. Some even equate this crisis to the 1998. This view is excessive in my opinion, and the government also became panicked. Too late, already ailing economy, though not yet severe.

Overconfidence effect is very dangerous. The companies will undertake an aggressive expansion financed by high leverage. Just look at now how the coal-based company covers the debt due to coal prices plummeted. It all started from their belief that coal prices will remain on sky level.

Stock investors will ignore fundamental factor. Supporting arguments later created as a justification in buying decision. Counter arguments will be ignored consciously or not. Every analyst will shout: "Buy!"

A retail investor will feel great in the stock market because he can make a profitable investment. In fact that is because the market in a bullish trend. So we can say: whatever you buy, you will get profit! So in a bullish trend, will emerge analyst or person who claims expert with the recommendation that is fairly decent. However, they will usually disappear when the market in a bearish trend. Sure, the crisis is a test for the skill.

What can we learn from this phenomenon? Be careful in making decisions.  Let us not be deceived by the illusion of confidence. Because when confidence is excessive, then the risk will begin to be ignored.

Anyway, I still want to share a little story from Prof.Dorodjatun. I remember that at that time he also criticized the mental and lifestyle of our government officials. When Indonesian negotiating team want to reschedule debt payments to Paris Club, they came up with luxury car and hotel. "We came to their country asking for mercy to delay of debt payments, but we did not show that Indonesia in some trouble!", He said. Pathetic!

Tuesday, August 27, 2013

Krisis dan Kesempatan

Koran Kontan, 27 Agustus 2013
Arman Boy Manullang

Jika ingin mencari kambing hitam atas krisis pasar keuangan saat ini, salahkan saja Ben Bernanke. Sinyal tapering off atas formula moneter ajaib “quantitative easing” yang diucapkannya memicu aksi sell off di pasar negara berkembang. Apa daya, nilai Rupiah ikut terseret pelarian modal itu. Semua tak lepas dari membaiknya data perekonomian Amerika Serikat.
Mundur sedikit ke belakang, pada 29 April 2013, ketika IHSG sukses menjebol angka psikologis 5.000, saya menulis artikel berjudul "Shifting Dana Global" di koran ini. Ketika itu, gejala pelarian modal asing yang sudah mulai terlihat di pasar. Resiko di pasar ekuitas pun meningkat dan pengalihan aset ke instrumen USD turut mengancam nilai Rupiah.
Kemudian tanggal 23 Mei 2013, ketika IHSG sudah menyentuh angka 5200, saya kembali menulis tentang hal ini dengan nada yang lebih keras dengan judul "Anomali Pasar Saham dan Bahaya Bubble". Intinya saat itu saya melihat pasar saham tidak bergerak sejalan dengan fundamental Indonesia.
Saat itu mayoritas media dan laporan analis mengatakan IHSG masih akan terus melaju dan jauh dari kata koreksi. Bahkan beberapa pihak dan forum mengecam saya karena menyebarkan sentimen negatif ke bursa.
Apa yang kita takutkan itu akhirnya terjadi saat ini. Inflasi yang meninggi, berakhirnya era suku bunga rendah, defisit neraca yang melebar akibat kinerja ekspor yang anjlok, dan melemahnya nilai tukar Rupiah, sudah terjadi saat ini. Dan masih mungkin makin memburuk lagi.
Posisi IHSG bahkan sudah melorot 20% dari posisi tertinggi 5.200 tahun ini. Nilai tukar rupiah juga sempat menembus 11 ribu pada kurs jual. Bank Sentral tidak mampu melakukan intervensi terus menerus karena beresiko menggerus cadangan devisa yang ada.
Kinerja penanaman modal juga sudah melambat. Padahal sempat digadang-gadang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengurangi ketergantungan kepada konsumsi domestik. Kebijakan proteksionisme atas nama nasionalisme menjadi penyebabnya. Ini juga tak lepas dari tekanan populisme politisi dan perebutan simpati publik lugu.
Dan lihat saja sekarang, semua tiba-tiba balik badan berteriak negatif menimbulkan kepanikan di pasar. Bahkan ada yang menyamakan krisis ini dengan krisis 1998. Ini pandangan yang berlebihan menurut saya. Dan pemerintah menjadi panik. Terlambat sudah, ekonomi sudah terlanjur sakit, meskipun belum parah.
Adalah aneh mengelola ekonomi negara sebesar Indonesia tanpa formula yang jelas. Pencegahan krisis adalah sesuatu yang langka di negeri ini: sakit dulu baru diobati. Padahal revisi outlook atas rating Indonesia oleh S & P dari positif menjadi stabil pada Mei kemarin seharusnya sudah lebih dari sekedar peringatan. Namun itu ternyata tidak cukup. Mungkin sudah bawaan mental bekas jajahan, ditampar dulu baru sadar.
Kehilangan status investment grade menjadi ancaman berikutnya. Memang Bank Indonesia memberikan sinyal positif bahwa defisit neraca transaksi berjalan bakal  menyempit pada paruh kedua tahun ini, seiring dengan pemulihan kondisi ekonomi global dan penyesuaian ekonomi domestik. Namun itu tidak mengurangi kekhawatiran kita akan ancaman di depan.

Kesempatan dalam krisis

Okelah, semuanya sudah terjadi, tak ada gunanya meratapi portofolio yang memerah hingga dua digit. Lantas apa yang bisa kita pelajari?
Pepatah klasik bahwa selalu ada kesempatan dalam setiap krisis sangat berguna saat ini. Walaupun memang terdengar klise. Banyak cerita sukses yang berawal dari krisis. Jika boleh saya menggunakan bahasa bombastis, banyak orang kaya mendadak ketika krisis usai. Itu hanya masalah waktu dan kesabaran.
Krisis adalah kesempatan mendapatkan aset bagus dengan harga murah. Mulai sekarang, silakan lirik saham-saham bagus incaran anda.
Jauhi dulu saham dari emiten yang sangat bergantung pada impor, termasuk emiten yang memiliki hutang besar dalam USD. Ingat di awal tahun ini, banyak emiten yang berlomba mencari pendanaan global dengan menerbitkan surat hutang dalam USD. Depresiasi Rupiah yang susah diprediksi sejauh mana sangat mengancam emiten seperti ini.
Musuh kita yang terutama memang adalah diri sendiri. Kita sering meninggakan akal sehat dan optimis berlebihan ketika dalam posisi senang (market bullish). Kita hanya terbiasa melakukan rasionalisasi dan justifikasi atas yg sudah terjadi tanpa melihat gejala yang sudah kasat mata.
Semoga situasi sekarang ini dapat kita jadikan pembelajaran hidup. Mereka yang tidak tahu sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya, demikian kata Edmund Burke.

Thursday, July 4, 2013

Ilusi Objektivitas


Satu ketika saya bertanya kepada seorang teman: “Seberapa yakinkah kamu dengan agama yang kamu anut?”. Dia menjawab: “100 persen!”. Ketika saya melakukan eksplorasi terhadap keyakinannya itu, ternyata yang saya dapatkan tak lebih dari keyakinan tanpa dasar yang jelas.
Okelah, itu adalah hak setiap orang. Saya tidak tertarik membahas tentang keyakinan. Debat kusir tentang ini tidak akan pernah berakhir. Saya hanya tertarik mendalami perilaku manusia.
Ini adalah contoh salah satu bias dalam hidup manusia yang disebut dengan over-confidence effect. Suatu keyakinan yang melebihi akurasi sebenarnya atau rasio. Bagaimana dapat dikatakan yakin 100% sementara bertemu dengan Tuhan, Surga, dan Neraka saja tidak pernah. Semua gambarannya hanya didapat dari kitab suci.
Fenomena ini banyak kita jumpai dalam kehidupan. Seorang karyawan cenderung menilai dirinya lebih tinggi sehingga menuntut gaji yang lebih besar lagi. Bubble dalam pasar saham dan harga komoditas juga dipicu optimisme yang berlebihan.
Itu pula yang terjadi dengan perekonomian Indonesia pasca mendapat rating investment grade. Kita menganggap Indonesia sebagai idola baru di dunia. Akibatnya, pemerintah, sadar atau tidak, banyak membuat kebijakan yang menyakitkan asing. Politisi juga semakin mengobarkan semangat anti asing. Simple saja alasannya: masyarakat sangat menyukai isu anti asing ini. Politisi yang terkesan anti asing, akan punya peluang lebih besar untuk dipilih masyarakat lugu dalam pemilihan nanti.
Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Perekonomian kita mengalami batuk-batuk ketika asing melakukan serangan kecil dengan membawa modal keluar dari Indonesia. Saya selalu mengatakan bahwa kita harus membangun indonesia dengan akal sehat, bukan hanya berdasar nasionalisme yang sempit.
Ketika berkutat dalam melakukan due-diligence terhadap suatu bisnis atau penilaian terhadap seorang personal tokoh, pemikiran skeptis ini banyak membantu saya dalam memformulasikan resiko. Setidaknya itulah yang saya peroleh dalam pengalaman yang masih pendek. Saya harus mengetahui siapa dan latar belakang seseorang untuk dapat memahami perannya dalam suatu masalah dan mengukur potensi resiko. Saya harus melakukan eksplorasi ke hal yang paling fundamental.
Kita ilustrasikan misalnya dalam suatu pengadilan. Seorang pengacara bertugas membela terdakwa sehingga wajar jika membela habis-habisan dengan mengesampingkan kesalahan. Sementara seorang jaksa penuntut akan menuntut habis-habisan si terdakwa dengan mengesampingkan hal positif. Semuanya itu tak terlepas dari peran  masing-masing. Jadi, mari melupakan objektivitas. Itu hanya bahasa retorika dan omong kosong.
Namun begitupun, bukan berarti kita boleh memelihara faktor subjektif. Konsep objektivitas atau bebas nilai mungkin memang hanya suatu ilusi. Tetapi mungkin ilusi yang bermanfaat. Objektivitas semu itu harus berusaha dicapai. Agar kita tidak tumbuh menjadi seorang manusia picik dengan wawasan dan perspektif yang sempit satu arah. Walaupun sempurnanya mungkin hanya utopis.
Semakin saya mendalami pemikiran-pemikiran orang hebat, semakin saya merasa bahwa konsep bebas nilai hanyalah satu ilusi. Tak lebih dari kemunafikan para pemikir itu. Menutupi subjektivitas dengan mengatakan diri bebas nilai.
Mungkin subjektivitas sudah merupakan sifat manusia. Bagaimanapun melawan itu, manusia tidak akan bisa terlepas. Masing-masing manusia berangkat dari satu domain yang mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Tidak akan pernah ada dua manusia yang identik. Ini pula yang membuat penilaian terhadap sesuatu adalah wajar berbeda. Artinya objektivitas setiap orang adalah berbeda.
Sebab itu, dalam melakukan penilaian terhadap satu hal, manusia sangat tergantung dengan konsensus atau kesepakatan universal.  Orang yang berhasil menyelaraskan diri dengan konsensus, disebut oleh masyarakat sebagai manusia normal.
Mungkin agama dan berbagai dongengnya adalah salah satu ilusi terbesar manusia. Mungkin menurut saya. Dan jangan lupa, saya juga berangkat dari skeptimisme terhadap agama. Saya tidak akan pernah mampu menilai agama dengan objektif.
Oke mulai sekarang saya tidak akan berani mengatakan diri sebagai makhluk yang rasional. Sebab banyak perilaku saya yang sebenarnya juga tidak masuk akal. Rokok yang jelas-jelas merugikan masih saya konsumsi hingga sekarang.
Bahkan kalau anda adalah orang yang teliti dan memiliki kemampuan menafsir bahasa yang baik, argumen-argumen yang saya berikan diatas sudah menggambarkan semuanya. Anda akan banyak menemukan kontradiksi. Tulisan ini adalah gambaran dari apa yang saya tulis ini. Tulisan ini tak lebih dari dari penilain subjektif yang saya kemas dengan seolah-olah objektif.
Sekarang saya coba memberikan pertanyaan kepada anda. Berapakah negara anggota organisasi pengekspor minyak (OPEC)?
a) antara 10-15 negara
b) antara 15-20 negara
c) diatas 20 negara
Coba masing-masing ketiga jawaban diatas anda beri persentase keyakinan sebagai jawaban yang benar. Kemudian coba anda cek disini jawaban yang benar. Apakah anda mengalami juga fenomena over-confidence? Berhati-hatilah dalam membuat keputusan. Saat percaya diri sudah berlebih, saat itulah resiko akan mulai diabaikan.

Monday, June 17, 2013

Sajak tentang Laut

Kalau kau merasa hebat
kalau kau merasa besar
cobalah pergi ke tengah laut luas
dalam deburan ombak
Kau akan merasa dirimu tak berarti

Deburan ombak, laut tak berujung, 
cakrawala tak terjangkau
akan hancurkan ego dan kesombonganmu
ragamu hanyut dibawa deburan ombak
jiwamu melayang ke batas kaki langit

Kau boleh memiliki segalanya
kau boleh dihormati orang
namun semuanya akan habis 
dalam satu sapuan ombak
meninggalkan sepi tak bersisa

Terpujilah yang hidup di laut
karena merekalah yang menghargai hidup
terkutuklah pencari kemapanan di darat
karena mereka tidak menghargai hidup


Pantai Carita, tengah malam 16 Juni 2012, dengan jantung bergetar dan tulang gemerutuk.

Saturday, June 8, 2013

Menggugat Konsumsi Orang Kaya Baru

Kontan, 12 Juni 2013




Perilaku konsumsi yang tidak terkendali tampaknya sudah mulai merasuki masyarakat Indonesia. Setidaknya begitulah fenomena yang terjadi terutama di kawasan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Starbucks, Toyota Kijang, Bioskop 21, Zara, iPhone, Galaxy adalah keseharian masyarakat modern kelas menengah.
Propaganda ini sering digunakan mendukung argumen prospek ekonomi Indonesia yang memang terbukti hingga saat ini. Ekonomi Indonesia berhasil tumbuh positif di tengah pelemahan ekspor akibat terjangan krisis global dan pelemahan harga komoditas.
Fenomena Conspicuous Consumption menggambarkan ini semua. Awalnya Conspicuous Consumption diperkenalkan oleh Ekonom dan Sosiolog Norwegia-Amerika Thorstein Veblen dalam bukunya "The Theory of the Leisure Class" pada tahun 1899.
Terminologi ini digunakan untuk menggambarkan perilaku orang-orang kaya baru pasca Revolusi Industri tahap kedua (1860-1914). Orang membeli sesuatu tidak berdasarkan kebutuhan, namun hanya untuk sekedar dipamerkan atau menunjukkan kelas dalam masyarakat. Membeli sesuatu hanya untuk membuat orang lain terkesan.
Demikian pula yang terjadi dengan Indonesia pasca liberalisasi perekonomian dan demokratisasi. Ekonomi yang stabil telah melahirkan orang kaya baru. Bank Dunia menyebutkan tahun 2010 ada 56,5% populasi penduduk Indonesia yang digolongkan kelas menengah. Konsultan Manajemen Global BCG (Boston Consulting Group) menyebutkan tahun ini ada 74 juta masyarakat kelas menengah Indonesia dan akan menjadi 2 kali lipat tahun 2020.
Mereka ini berasal dari golongan pekerja (working class) yang hidup dari mengabdi kepada pemilik modal. Mereka ini adalah golongan yang tidak memiliki selera, pendirian, dan hanya mengikut arus. Kebutuhan mereka tidak terpaku hanya pada kebutuhan primer saja, melainkan sudah beranjak ke kebutuhan sekunder dan tersier. Gaya hidup adalah sesuatu yang penting bagi mereka. Mereka inilah yang membuat penuh mall setiap hari dan menghabiskan waktu dengan nongkrong di café.
Salah satu karakter mereka adalah porsi konsumsi yang tinggi atas jumlah pendapatan. Konsumsi atas barang dan jasa yang tidak benar-benar dibutuhkan meningkat tajam. Mereka adalah orang yang lahap menghabiskan berbagai macam fasilitas kredit yang disediakan oleh perbankan. Mereka juga doyan gonta-ganti gadget.
Bagi kalangan yang benar-benar mampu, perilaku yang sudah mendekati hedonisme ini mungkin tidak masalah karena akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya dalam masa krisis, pemerintah selalu mendorong konsumsi masyarakat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi.
Namun masalah sosial timbul ketika ada sekelompok masyarakat yang memaksakan diri untuk melakukan konsumsi produk ini. Ketika penghasilan tidak mencukupi pemenuhan gaya hidup, perilaku koruptif akan muncul. Angka kriminal juga akan meningkat. Masyarakat akan hidup dalam gelimang hutang.
Saya mengkhawatirkan tingkat pembelian properti dan kenderaan di Indonesia yang tinggi saat ini bersumber dari uang seperti ini. Lihat saja bagaimana para pelaku korupsi mencuci uang dengan membeli apartemen, rumah, mobil, dan barang mewah lain.
Sangat kontras pula ketika kita menghujat kapitalisme sementara kita menikmati produknya setiap hari. Mengklaim diri anti kapitalisme sementara kita terbiasa nongkrong di starbucks. Memuja sistem ekonomi kerakyatan sementara terbiasa berbelanja di toko peritel modern.

Pertumbuhan semu

Apa yang dapat kita pelajari dari fenomena ini? Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa konsumsi golongan menengah tersebut adalah buruk. Tidak sama sekali. Toh mereka itu adalah ujung tombak mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun saya khawatir pertumbuhan ekonomi seperti ini adalah semu. Jika kita mempertahankan mindset ekonomi yang didorong konsumsi, saya kira kondisi riil masyarakat kita akan tetap terkungkung dalam kemiskinan. Sebab penghasilan yang dimiliki hanya akan dihabiskan untuk memenuhi kebuasan belanja dan aktifitas menghabiskan tanpa berpikir aktifitas produksi. Mindset konsumsi harus diubah menjadi mindset produksi dan penciptaan nilai tambah ekonomi.
Mungkin sudah saatnya pula kita mengubah pandangan tentang ukuran kesuksesan ciri khas negara dunia ketiga: kesuksesan dilihat dari harta kekayaan yang berhasil dikumpulkan.
Kita sebagai individu perlu memperhatikan porsi investasi atas penghasilan, bukan sekedar menyisihkan sebagian kecil. Sejatinya konsumsi atas barang sekunder dan tersier dilakukan ketika kita pendapatan sudah dikurangi dengan konsumsi barang pokok dan investasi. Namun yang terjadi, orang melupakan investasi demi mengejar kebahagiaan semu dan pengakuan dari masyarakat.
Dan tanpa sadar kita hanya akan menjadi sasaran empuk dari pemodal. Pemodal memberikan gaji, kemudian gaji dikembalikan kepada pemodal melalui konsumsi yang tidak terkendali. Dengan kata lain, kita akan tetap dalam status mengabdi kepada kaum borjuis. Konyol sekali.
Sedikit intermezzo, Pope Franciscus baru saja berkicau tentang ini dalam akun twitter @pontifex. Dia berkata: “Consumerism has accustomed us to waste.  But throwing food away is like stealing it from the poor and hungry.”

Wednesday, May 29, 2013

Gita Wirjawan: From Wall Street to Main Street


Beberapa kali saya melihat beliau dengan langsung, terasa sosok yang high profile dan sangat berkelas – ciri khas dari seorang Wall Street guy. Kharisma dan kepintarannya pun keluar ketika berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, cost of capital, convertible debts, mezzazine financing, dan terminologi lain yang akrab bagi yang berkutat di sektor keuangan.
Gita Wirjawan adalah success story dari seorang investment banker. Tak heran pula banyak banker-banker investasi muda di Indonesia menjadikan beliau sebagai panutan. Profesi ini memang belum familiar bagi orang Indonesia. Selain beliau, mungkin ada muncul nama Sandiaga Uno (Saratoga, Recapital), Patrick Walujo (Northstar Pacific), dan Tom Lembong (Quvat Capital – Principia Management).

Background

Gita memang bukan orang biasa, terlahir dari keluarga ningrat dengan latar belakang keluarga santri yang terpelajar. Keluarga mereka tumbuh dalam intelektualitas yang sangat baik. Alissa Wahid pernah berkata bahwa mereka masih memiliki kekerabatan sebagai keturunan pendiri Muhammadiyah.
Gita terlahir pada 21 September 1965 dari pasangan diplomat Wirjawan Djojosoegito dan Paula Warokka. Ayahnya adalah Dokter perwakilan Indonesia di WHO yang sering berpindah tugas keliling dunia. Ini membuatnya tumbuh menjadi sosok internasionalis, biasa bergaul dengan masyarakat antar negara sehingga memiliki pandangan yang sangat terbuka. Tidak heran Gita juga memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang persis seperti penutur asli.
Keluarga Wirjawan sukses menjadi profesional keuangan. Gita merupakan anak paling muda dari lima bersaudara. Dian Budiman Wirjawan pernah menjabat Dirut PT Danareksa menggantikan Glenn Yusuf. Wibowo Suseno Wirjawan adalah mantan Dirut PT Jakarta International Container Terminal, mantan Dirut PT Terminal Peti Kemas Koja, dan mantan deputi di BP Migas. Rianto Ahmadi Djojosoegito yang merupakan mantan Presiden Direktur PT Allianz Life Indonesia. Satu lagi seorang perempuan Marina Wirjawan.
Gita menikah dengan Yasmin Stamboel (cucu dari pahlawan Otto Iskandar Dinata) yang juga berlatar belakang yang sama dengan Gita. Yasmin terakhir menjabat sebagai Director, Analytical Manager and Team Leader – South and Southeast Asian Corporate and Infrastructure Ratings di Standard & Poor's Credit Market Services, Singapore. Saat ini dia adalah advisor di lembaga rating Pefindo dan Komisaris di XL Axiata Tbk.
Yasmin Stamboel adalah saudara dari Kemal Aziz Stamboel, Ketua Komisi I DPR RI periode 2009-2014 dari Partai PKS. Kemal pernah bekerja sebagai Presiden Direktur di PricewaterhouseCoopers (PwC) Consulting Indonesia dan Country Leader di IBM Business Consulting Indonesia.
Jabatan istri Gita di XL Axiata ini juga sebenarnya menarik ditelusuri sebab Gita pernah menjadi advisor dan profesional di STT (unit dari Temasek Singapura) yang membeli operator telekomunikasi XL dari Peter Sondakh.
Gita memulai pendidikan dengan belajar Musik dan Matematika. Belakangan banting setir mengambil mata kuliah Akuntansi, dan kemudian melanjutkan belajar Bisnis serta Administrasi Publik di Harvard University.
Gita menghabiskan sebagian besar karir di perusahaan keuangan asing. Dan ini pula yang melambungkan namanya. Sebut saja Citibank, STT, Goldman Sachs, dan terakhir JP Morgan. Tak heran orang selalu mengaitkan beliau dengan Amerika, atau menyebut dengan rezim neolib atau kapitalis.
Ketika bekerja di Goldman Sachs, Gita terlibat dalam divestasi Indosat kepada ST Telemedia (STT). Saat itu, dia merupakan advisor untuk ST Telemedia. Dia dianggap sebagai orang sukses dibalik deal besar dan kontroversial ini. ST Telemedia kemudian mengangkat Gita menjadi Senior Vice President.
Kemudian dia diangkat sebagai Presiden Direktur JP Morgan Indonesia.
Agustus 2012, Gita dipercaya menjadi menteri perdagangan ketika terjadi reshuffle kabinet. Sebelumnya Gita menjabat sebagai Kepala BKPM sejak 2010.

Ancora Capital

Ketajaman insting Gita teruji tahun 2008. Beberapa bulan sebelum krisis terjadi, dia sudah meramalkan krisis dan memutuskan untuk meninggalkan JP Morgan. Dia bersama dengan Ivor Orchard (seorang dedengkot di JP Morgan) dan Veronica Lukito mendirikan sebuah private equity bernama Ancora Capital dan menggalang dana untuk membeli perusahaan-perusahaan yang mengalami masalah keuangan ketika terjadi krisis.
Ancora Capital yang baru didirikan pada awal 2008 berhasil menghimpun dana investasi dari para investor asal Timur Tengah, Malaysia dan Brunei Darussalam yang mencapai $ 300 juta.
Dan krisis itu kemudian benar-benar terjadi. Dalam hitungan bulan, perusahaan ini mengambil alih sebagian saham PT Apexindo Pratama Duta Tbk., PT Bumi Resources Tbk, PT Multi Nitrat Kimia, perusahaan properti di Jakarta, dan sebuah perusahaan properti di Bali.
Ancora ada di balik penyelamatan bisnis keluarga Bakrie ketika terjadi krisis 2008. Ancora mengambil alih hutang Bakrie kepada JP Morgan senilai $ 75 juta dengan jaminan saham Bumi Resources. Dalam hitungan bulan, saham BUMI melejit hingga dikabarkan Gita mendapatkan profit dalam jumlah yang sangat besar. Aroma konflik kepentingan ada saat itu, sebab Gita masih menjabat sebagai penasehat tidak tetap di JP Morgan.

Kontroversi

Ancora Resources (OKAS) listing di BEI melalui metode backdoor tahun 2008. OKAS pernah dituduh melakukan manipulasi pajak oleh sebuah LSM bernama Forum Masyarakat Peduli Keadilan. Gita berkelit dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah terlibat dalam operasional perusahaan.
Aktivitas politik Gita tidaklah banyak terekam publik. Kedekatannya dengan Presiden SBY sudah tak diragukan lagi. Kepiawaiannya bermain musik membuat SBY jatuh hati kepada Gita dan menjadikannya anak emas. Gita juga berperan memfasilitasi putra pertama presiden ketika mengambil S2 di Harvard.
Peran Gita ketika bekerja sebagai banker dalam privatisasi berbagai BUMN (Terminal Tanjung Priok, Indosat, dan Semen Gresik) membuat publik sering mempertanyakan nasionalismenya. Kesan ini pula yang sekarang berusaha diubah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan perdagangan yang pro dalam negeri, seperti pembatasan franchise asing dan pembatasan impor barang tertentu.
Ancora Land sempat juga disebut-sebut menerima aliran dana Bank Century. Tuduhan ini memang sangat jauh dan terkesan berbau politis.
Karena jalinan koneksinya yang luas di internasional, ia kerap diminta pemerintah menjalin lobi dengan beberapa pemimpin dunia.
Perannya yang banyak membantu investor asing juga sering dipertanyakan publik. Gita selalu menjawab positif akan hal ini. Gita mengatakan bahwa itu adalah persepsi yang salah, karena apa yang dia lakukan adalah untuk kebaikan bangsa karena memungkinkan ekonomi untuk maju.
Gita mengatakan bahwa kondisi di Indonesia itu mirip dengan membangun rumah tetapi tidak memiliki cukup dana. Bangunan sudah hampir selesai sementara atap belum selesai. Kemudian orang asing datang untuk mengulurkan tangan. Tentu saja, dalam situasi bahwa kita harus menerima bantuannya. bagaimana kita bisa tinggal di rumah tanpa atap?
Di bidang sosial, Gita mendirikan Ancora Foundation yang banyak mengirimkan pelajar ke Harvard dan Nanyang. Gita juga mendirikan Ancora Golf yang melatih calon-calon pemain Golf professional.
Gita sangat mencintai music jazz. Itu pula yang melatar belakanginya mendirikan Omega Musik Production yang berhasil melejitkan nama Tompi dan Dewi Lestari. Bahkan pada akhir tahun 2005, ia bermain dengan beberapa kelompok jazz top dunia di Jakarta, yaitu Fourplay dan Bob James. Dia juga aktif mencipta lagu dan bermain alat music piano, biola, gitar, bas, saksofon.
Gita memang bisa hampir dikatakan sosok seorang Renaissance Man yang hidup di era modern –terminologi yang digunakan untuk menyebut manusia multi talent yang hidup di era Renaissance, seperti Leonardo da Vinci. Bisa dikatakan dia memiliki segalanya.
Karir beliau terbilang cepat dan selalu berhasil mengesankan atasannya, termasuk Presiden SBY. Tak heran dia selalu dipercaya untuk mengemban jabatan berikutnya yang lebih tinggi. Apakah Gita akan kembali melejit menjadi orang nomor satu atau dua di negeri ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Saturday, May 18, 2013

Anomali Pasar Saham dan Bahaya Bubble

Arman Boy Manullang
Pengamat Pasar Modal
Koran Kontan, Kamis, 23 Mei 2013

Ada anomali yang sangat terasa. Perekonomian global dan domestik sudah memberikan sinyal perlambatan. Ancaman inflasi sudah menunggu. Kondisi politik sudah memanas. Defisit neraca perdagangan melebar. Namun pasar saham tak kunjung memberikan sinyal pembalikan arah. IHSG terus menciptakan rekor level tertinggi baru. Semua saham diburu oleh investor yang kelaparan. Beli saham apa saja pasti untung.
Global (Amerika, Eropa, dan Jepang) menjalankan quantitative easing “printing money” policy sebagai solusi instan mengatasi krisis saat kebijakan suku bunga acuan mendekati 0% tidak efektif lagi. Akibatnya dunia kelebihan likuiditas. Kemana lagi larinya kalau bukan ke pasar saham yang menjanjikan return instan. Pasar saham akan menyerap uang sebanyak apa pun.
Dana mengalir ke negara berkembang, yield obligasi pemerintah menurun, konsumsi meningkat, bisnis semakin mudah mendapatkan pendanaan, harga aset keuangan meningkat. Semuanya adalah konsekuensi dari ease monetary policy.
Tampaknya market lebih digerakkan oleh sentimen. Fundamental dan argumen hanya digunakan untuk mendukung sentimen itu. Semua meneriakkan: “Buy! buy! buy!”. Tak peduli bagaimana kualitas aset itu.
Siapa yang menciptakan sentimen? Mereka adalah opinion maker. Ada ekonom, banker, fund manager, analis, media, dan pembuat kebijakan. Mereka yang membentuk konsensus. Mereka yang membentuk suara publik. Sayangnya kebanyakan mereka memiliki kepentingan.
Selebihnya adalah market followers.
Lihat dengan shale gas yang sudah mulai booming. Batubara dan Minyak Bumi yang dulu dipuja-puja, dalam sekejab dimaki bagai tak ada harga.
Siapa yang memulai semua ini? Mungkin mereka yang sudah melakukan investasi duluan. Argumen justifikasi yang sangat logis -- gas lebih ramah lingkungan dibanding batubara, dalam sekejab berhamburan di media.
Reputasi mereka yang berbicara memang sangat baik. Mereka layak dipercaya.
Tapi tunggu dulu. Bukankah analis meneriakkan buy sebelum Enron bangkrut? Bukankan media dan peramal selalu menulis prospek cerah sektor teknologi sebelum era kehancuran saham teknologi? Bukankah produk Lehman Brothers mendapatkan rating AAA sebelum bangkrut?
"Dalam beberapa bulan ke depan saya melihat pasar saham jauh lebih tinggi daripada hari ini." Demikian kata-kata yang diucapkan oleh Irving Fisher, Profesor Ekonomi di Universitas Yale, peraih pertama nobel ekonomi, tepat 14 hari sebelum Wall Street hancur pada Black Tuesday , 29 Oktober, 1929.
Tragis, dia kehilangan 140 juta (dalam dolar setara hari ini) dalam kehancuran pasar saham itu. Fisher adalah manusia jenius, seorang ekonom besar, seorang teoritikus yang sangat baik, salah satu pendiri ekonometrik, dan pelopor dalam analisis angka indeks.
John Maynard Keynes, ekonom Inggris yang paling terkenal, yang sebelumnya mengumpulkan kekayaan di pasar keuangan untuk dirinya dan Cambridge University, kehilangan 156 juta (dalam pound saat ini) dalam kejadian itu.

Myron S. Scholes, peraih nobel ekonomi 1997, salah seorang penemu formula Black-Scholes Equation untuk valuasi instrumen derivative, adalah partner di Long Term Capital Management (LTCM) ketika dilikuidasi akibat kerugian dalam jumlah sangat besar tahun 2000.
Ketika euforia optimisme berganti menjadi pesimisme, hutang yang sebelumnya dijustifikasi optimisme, akan berbalik arah dianggap berbahaya. Kreditor yang awalnya optimis, berubah menjadi panik, kemudian melakukan penyitaan paksa. Semua akan beramai-ramai mengajukan kebangkrutan. Ini adalah cerita klasik dari krisis yang berawal dari keserakahan.
Cerita bubble bukan hal baru di dunia ini: mulai dari The Dutch Tulip Mania 1637, The British South Sea 1922, The Dot-Com Boom 2000, hingga The Subprime Mortgage 2007. Dan semuanya berinti tentang keserakahan manusia.
Oh mengapa memori kita sangat pendek?
Tapi kita harus konsisten. Kita harus siap menghadapi konsekuensi apa yang kita anut. Ini adalah kapitalisme. Res tantum valet quantum vendi potest. Sesuatu hanya berharga ketika seseorang mau membayar untuk itu.
Kapitalisme “invisible hand” akan siap menghukum setiap kesalahan pelaku. Tak peduli siapa dia. Masalahnya, yang dihukum bukan hanya pelaku, bukan pula hanya hingga penonton, awam pun akan ikut dihukum.
Ekonomi memang terkadang sangat misterius. Banyak fenomena yang tidak bisa dijelaskan.
Tidak sulit untuk mendapatkan keuntungan dari pasar saham. Tapi yang sulit adalah mencukupkan diri. Manusia selalu ingin cepat kaya dengan cara yang mudah. Itulah yang selalu menjadi sumber setiap cerita pilu.
Ada joke klasik dalam pasar saham: Ketika ibu rumah tangga dan anak yang tidak memiliki penghasilan sudah ikut bermain saham, itulah tanda-tanda pasar saham akan hancur.
Pasar saham memang selalu menyisakan teka-teki. Dan kita akan terus melakukan rasionalisasi dan justifikasi dalam setiap kejadian.
Mereka bilang sejarah akan selalu berulang dengan sendirinya. Hanya nama, wajah, dan waktunya saja yang berbeda. Dan cerita ini akan terus berlanjut sepanjang manusia tidak mau belajar dari sejarah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai tambahan, ada kutipan menarik dari film Wall Street: Money Never Sleeps.
POOR MAN: I'd like a mortgage... I don't really have any money though... is that cool? 
BANKER MAN: Totally cool. Since housing prices are always going up it won't be a problem.
POOR MAN: You guys are awesome!
GORDON GECKO: You wanna know what the mother of all bubbles was? Us. The human race.

Tuesday, May 14, 2013

Skandal Bloomberg Terminal dan Insider Information

Kontan, 17 Mei 2013
Skandal penyalahgunaan informasi Bloomberg Terminal menyeruak beberapa hari ini. Isu ini tidaklah main-main sebab layanan ini digunakan oleh raksasa-raksasa keuangan dunia. Bahkan Gubernur Bank Sentral US (The Fed) Ben Bernanke menjadi sasaran penyusupan melalui Bloomberg Terminal. Siaran berita keuangan CNBC terus memanfaatkan isu ini untuk menjatuhkan reputasi Bloomberg. Wajar saja mengingat mereka merupakan kompetitor satu sama lain di divisi media televisi. Skandal ini juga memicu disorotnya kembali isu privasi terhadap informasi-informasi rahasia bisnis.
Skandal ini bermula dari Goldman Sachs yang mengajukan protes kepada Bloomberg. Goldman menuding jurnalis Bloomberg  memata-matai karyawan Goldman dengan menggunakan terminal Bloomberg  yang mereka gunakan.
Pada bulan lalu, seorang reporter Bloomberg Hongkong menghubungi Goldman Sachs dan menanyakan mengapa salah seorang eksekutif tidak pernah menggunakan mesin Bloombergnya dalam waktu yang cukup lama. Ini akhirnya menimbulkan kecurigaan bahwa ternyata reporter Bloomberg memata-matai aktifitas eksekutif di Goldman Sachs tersebut.
Yang menjadi masalah adalah reporter Bloomberg memanfaatkan akses informasi rahasia melalui terminal tersebut untuk bahan informasi ke media. Padahal sebenarnya layanan Bloomberg Terminal ini adalah divisi yang berbeda dengan divisi media (televisi dan majalah). Bagaimana mungkin seorang wartawan televisi Bloomberg memiliki akses terhadap pengguna layanan Bloomberg Terminal?
Bagi anda yang awam, Bloomberg Terminal adalah seperangkat komputer yang menyediakan data informasi keuangan secara realtime yang tersambung dengan seluruh belahan bumi melalui platform elektronik. Sistem perintah, monitor, dan keyboard yang digunakan perangkat ini juga berbeda dengan komputer umumnya. Oleh sebab itu seseorang biasanya membutuhkan training untuk bisa mengoperasikan.
Perusahaan ini didirikan dan 88% sahamnya dimiliki oleh Michael Bloomberg yang saat ini merupakan Walikota New York. Michael dulunya adalah seorang investment banker di Salomon Brothers dan saat ini tercatat sebagai orang terkaya nomor 7 di Amerika Serikat.
Pemain terminal informasi ini hanya ada dua di dunia saat ini, yaitu Bloomberg dan Reuters.
Layanan yang satu ini sangat mahal harganya. Perusahaan menghabiskan dana miliaran rupiah per tahun untuk mendapatkan layanan lengkap dengan seperangkat komputer yang dipinjamkan. Seingat saya layanan paling minimalnya harus membayar biaya subscription sekitar Rp 150 juta dan biaya langganan bulanan sekitar Rp 15 juta per user account untuk paket yang paling basic.
Peralatan yang satu ini memang sangat canggih dan menawarkan banyak kemudahan. Dengan sekali klik, kita bisa mendapatkan informasi keuangan dari New York, London, Frankfurt, Zurich, Hongkong, Tokyo, atau Singapura. Bahkan dari Jakarta kita bisa berkomunikasi dengan  seorang analis di Wallstreet dengan memanfaatkan alat ini. Borderless world!
Saya ingat sekitar 3 tahun lalu saat masih bekerja di level junior analis, setiap pagi sebelum pasar dibuka, saya bekerja dengan perangkat ini untuk melakukan update data keuangan dunia dan mengimpor ke dokumen excel untuk kemudian dilampirkan dalam research report yang didistribusikan kepada nasabah institusi dan ritel.
Bloomberg terminal mungkin adalah sesuatu yang wajib untuk profesional keuangan. Bank Sentral, otoritas pasar modal, perusahaan sekuritas, investment banking, bank komersial, asuransi, dan fund manager menggunakan platform ini. Saat ini ada lebih dari 315 ribu pelanggan di seluruh dunia.
Bank Sentral dan otoritas pasar modal menggunakan layanan ini untuk memantau informasi keuangan dunia. Divisi treasury di bank menggunakan layanan ini untuk mengatur transaksi atau lindung nilai (hedging) yang berhubungan dengan currency atau foreign exchange. Perusahaan asuransi dan fund manager menggunakan layanan ini untuk memantau portofolio mereka yang tersebar di seluruh dunia.

Insider information

Isu privacy pun kembali menjadi sorotan saat ini. Pun saya dari dulu sudah sering memikirkan betapa banyaknya celah untuk mendapatkan informasi rahasia perusahaan, salah satunya melalui mesin Bloomberg ini.
Di era sekarang ini dimana informasi kebanyakan berbasis teknologi, dipastikan dokumen ada dalam bentuk digital. Setiap dokumen digital pasti akan meninggakan jejak. Inilah yang rentan untuk dibajak atau disusupi. Mungkin tidak perlu seorang hacker sejenius Julian Assange Wikileaks untuk menembus data ini. Cukup seorang anak muda yang tekun, sabar, menguasai bahasa pemrograman, dan sanggup duduk di depan komputer berhari-hari.
Dan kebanyakan eksekutif tidak sadar bahwa data yang mereka pegang sangat sensitif dan rentan untuk dicuri. Akibatnya mereka tidak terlalu memperhatikan permasalahan security. Saya saksikan sendiri terkadang beberapa data sensitif tidak diproteksi dengan aman dan dengan mudah bisa saya ambil untuk disalahgunakan.
Berhungan dengan insider information, cara dengan menyusup melalui jaringan IT mungkin adalah yang relatif lebih sederhana dan mudah, walaupun mungkin beresiko. Sementara yang terjadi selama ini, perusahaan lebih banyak memanfaatkan jasa economic/industrial/corporate espionage yang sangat mahal. Layanan spionase intelijen bisnis pihak ketiga ini biasanya memanfaatkan karyawan atau orang dalam. Bisa jadi orang dalam tersebut disuap, atau bisa jadi juga tidak sadar bahwa dia banyak membocorkan informasi rahasia melalui obrolan-obrolan.
Kompetitor adalah salah satu pihak yang rentan mencuri informasi. Berbagai cara akan digunakan untuk mendapatkan informasi pihak lain.
Ini memang adalah wilayah yang abu-abu dan sering mengundang kritik karena tidak etis. Tetapi itu adalah praktek dalam dunia nyata. Informasi itu memang sangat mahal harganya. Siapa yang menguasai informasi, dia akan menjadi pemenang. Semoga kejadian ini bisa menyadarkan kita akan pentingnya privasi untuk data-data sensitif.



Wednesday, May 8, 2013

Rating Investasi dan Subsidi BBM


Salah satu alasan bagi S&P tak kunjung memasukkan Indonesia ke rating investment grade adalah adalah permasalahan subsidi energi yang tak kunjung berakhir. Kontras dengan dengan Filipina yang sudah dimasukkan ke dalam rating layak investasi BBB-. Pada 2 Mei 2013, S&P mempertahankan status Indonesia di level BB+ dan menurunkan prospek dari positif menjadi stabil. Dan kebetulan saat ini, Indonesia sedang meributkan kenaikan harga BBM untuk kesekian kalinya.
Indonesia dan Filipina adalah sama-sama negara berkembang di Asia Tenggara yang sudah menjalankan libelarisasi dan reformasi ekonomi dalam beberapa dekade terakhir. Dan hasil dari liberalisasi itu sudah terlihat dalam sektor ekonomi. Dividen dari liberalisasi ekonomi sudah dinikmati oleh kedua negara.
Bedanya, Indonesia masih berjuang dengan masalah struktural sebagai ciri khas negara berkembang. Sedangkan Filipina melaju terus dengan mantap. Dan sayangnya, permasalahan di Indonesia ini adalah tentang politik.
Relevansi rating negara
Rating adalah sesuatu yang sangat penting bagi investor global karena menunjukkan tingkat kepercayaan mereka terhadap suatu instrumen investasi. Banyak fund-fund asing yang membatasi alokasi aset harus ke negara-negara yang sudah mendapatkan status layak investasi. Akibatnya, negara yang tidak memiliki status ini tidak akan kebagian aliran dana itu. Dan jika suatu negara kehilangan status ini, dipastikan dana yang sudah terlanjur masuk akan dievaluasi kembali.
Relevansinya ke suatu negara adalah financing cost. Semakin bagus rating suatu negara berarti semakin kecil resiko default. Maka beban bunga yang harus ditanggung negara itu akan semakin mengecil ketika melakukan pendanaan dari pasar global.
Studi empiris sudah banyak membuktikan hal ini. Penelitian terbaru yang dilakukan Laura Jaramillo dan Catalina Michelle Tejada tahun 2011 menunjukkan bahwa status Investment Grade mengurangi financing cost suatu negara secara signifikan. Penelitian ini menggunakan sampel 35 emerging markets dalam rentang tahun 1997-2010. Hasilnya bahwa status investment grade mampu menurunkan spread sebesar 36%. Yang pada akhirnya akan memicu sentimen positif internasional karena berkurangnya rasio Utang terhadap PDB suatu negara. Akibatnya aliran dana akan terdorong masuk dengan basis investor yang semakin terdiversifikasi.
Dan sayangnya di Indonesia, sesuatu yang liberal dan identik dengan asing itu dicitrakan negatif oleh publik. Saya sering tidak paham dengan pelabelan ini. Sehingga cara yang paling gampang untuk populis dan disukai publik di indonesia adalah dengan membawa isu anti asing.
Kaitan dengan Subsidi Energi
Permasalahan subsidi energi ini bukan merupakan hal yang baru. Indonesia saat ini menghadapi ancaman defisit anggaran yang tidak terkendali akibat besarnya subsidi BBM dan listrik yang membebani APBN. Dan pada akhirnya mengancam posisi neraca pembayaran. Pemerintah tidak bisa leluasa menjalankan program pembangunan mengingat terbatasnya ruang anggaran.
Dalam APBN 2013, pemerintah menganggarkan belanja subsidi energi sebesar Rp274,7 triliun yang terdiri atas subsidi BBM Rp193,8 triliun dan subsidi listrik Rp80,9 triliun. Sedangkan penerimaan negara mencapai Rp 1.529,7 triliun dan alokasi belanja negara Rp 1.683 triliun sehingga akan ada defisit Rp 150,3 triliun atau 1,65% dari PDB.
Coba kita bayangkan, angka subsidi yang sangat besar inilah yang sebenarnya menjadi sumber defisit anggaran. Bahkan angka subsidi BBM sebesar 193,8 triliun jauh melebihi defisit anggaran yang sebesar Rp 150,3 triliun.
Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan berjudul 2013 Asia’s Energy Challenge sudah mengingatkan hal tersebut. ADB mencatat, pada 2010 hanya 6% dari masyarakat tidak mampu Asia yang menikmati subsidi BBM, 6% subsidi elpiji, 6% diesel, 9% listrik, 10% gas alam, serta 15% minyak tanah. Dengan demikian, ketergantungan terhadap energi fosil justru memperlebar jarak antara kaya dan miskin karena kalangan mampulah yang semakin diuntungkan dengan subsidi.
ADB juga mencatat bahwa Asia menjadi kawasan dengan pasokan energi termiskin di dunia. Tanpa adanya energi alternatif, pada 2035 konsumsi minyak di Asia akan naik dua kali lipat.
Tidak akan habis argumen terhadap pro kontra kebijakan pencabutan subsidi energi ini. Yang pasti, jika Indonesia ingin mampu bersaing di era keterbukaan saat ini, tidak ada cara lain harus memberikan perhatian lebih terhadap reformasi di sektor energi. Itu semua adalah tentang kemauan politik, bukan semata-mata logika ekonomi.
Dan saya rasa sudah terlambat jika berharap kepada rezim pemerintahan Presiden SBY. Sayangnya diantara kandidat calon presiden yang sudah mulai memunculkan diri saat ini, belum ada yang berani memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan ini. Mungkin jika ada calon presiden yang berani mengatakan akan melaksanakan kebijakan non-populis dengan mencabut atau setidaknya mengurangi ketergantungan terhadap subsidi energi, saya akan memilihnya. Karena tanpa perubahan radikal pada sektor energi ini, dipastikan perekonomian Indonesia tidak akan berjalan kemana-mana.