Pages

Ads 468x60px

Tuesday, January 29, 2013

Permasalahan Sektor Perbankan Indonesia


Bisnis sektor perbankan Indonesia memang adalah sangat menarik, bila dibandingkan dengan negara lain dalam regional. Dengan profit margin yang sangat tinggi, yang terutama didorong oleh tingginya kredit sektor konsumsi (lagi-lagi berasal dari konsumsi masyarakat kelas menengah), ditambah dengan angka kredit macet (NPL) yang terjaga dibawah level 3%, membuat sektor ini menjadi surga untuk investor. Tak heran jika sektor ini menjadi idola di Indonesia, akibat pertumbuhan laba yang sangat mencengangkan. Tak heran juga perbankan-perbankan asing berebut masuk ke Indonesia untuk memanfaatkan peluang itu.
Berbicara tentang sektor perbankan Indonesia, isu yang paling hangat belakangan ini adalah perpindahan fungsi pengawasan perbankan dari BI ke lembaga superbody Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang direncanakan akan beroperasi penuh tahun 2014 mendatang. OJK ini memang diharapkan dapat mempermudah koordinasi dalam industri keuangan secara umum, terutama saat masa krisis. Sulitnya koordinasi seperti yang terjadi pada masa krisis 2007 tentu tidak akan terulang lagi jika OJK sudah berdiri.
Namun, ada permasalahan struktural yang paling mendasar dalam perbankan Indonesia, yaitu tingginya angka selisih bunga pinjaman dengan bunga simpanan (spread). Penurunan suku bunga acuan BI rate sudah dilakukan oleh pemerintah, namun tidak serta merta diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan. Ada gap yang teramat besar dalam hal ini, yang sekaligus menunjukkan bahwa transmisi kebijakan moneter Bank Sentral melalui BI rate tidak berjalan di Indonesia.
Ada kalimat sinis yang biasa dikatakan orang-orang untuk menggambarkan kondisi bisnis perbankan di Indonesia: “Dengan ongkang-ongkang kaki saja, tidak perlu butuh kerja keras, bank pasti mendapatkan untung”. Pameo ini memang bisa diterima dan masuk di akal, sebab orang tetap membutuhkan bank untuk menyimpan dan meminjam uang. Pihak bank hanya tinggal duduk menunggu nasabah untuk menyimpan uang, dan kemudian meminjamkannya kepada pihak lain. Dan bank akan menuai untung dari spread bunga tersebut.
Memang, sejak Mei 2012, BI sudah berhasil memaksa industri perbankan untuk menurunkan suku bunga, melalui kebijakan untuk mengumumkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) kepada publik, untuk tujuan transparansi. Kebijakan ini berhasil menurunkan angka Net Interest Margin (NIM) sebagai indikator spread suku bunga pada industri perbankan. Pada awal tahun 2012, angka NIM masih bertengger di posisi 5,9%, dan berhasil diturunkan ke 5,2% pada Maret 2012, namun kembali naik menjadi 5,48% pada akhir tahun 2012.
Namun angka penurunan NIM ini tentu masih sangat jauh dari harapan. Angka ini juga masih sangat jauh bila dibandingkan dengan indikator perbankan kawasan. Bank Indonesia sendiri juga pernah mengatakan akan mengarahkan angka NIM ke sekitaran 4%, masih sangat jauh dari yang ada saat ini.
Ekspektasi NIM memang diprediksi akan menurun. Hasil Survei dari PwC mengatakan bahwa 72% dari banker level eksekutif yang disurvei memperkirakan bahwa angka NIM perbankan Indonesia akan semakin menyempit ke depan. Satu hal yang menarik dari hasil survei ini adalah: ternyata rating investment grade yang diperoleh Indonesia bisa membawa akibat negatif kepada industri perbankan nasional, sebab bank harus bersaing dengan sumber-sumber pendanaan alternatif lain yang bisa didapatkan oleh calon debitur.
Tingginya resiko premium yang harus ditanggung perbankan menjadi salah satu alasan yang sering dikemukakan para bankir. Alasan ini sangat kontras dengan angka kredit macet (NPL) perbankan yang sebenarnya sudah stabil di bawah angka 2,2%. Kontras juga dengan tren BI rate yang sudah stabil di angka 5,75%, bandingkan dengan angka 6,75% pada September tahun lalu. Jadi alasan ini sebenarnya sangat tidak masuk akal.
Kendala minimnya infrastruktur Indonesia mungkin menjadi alasan yang paling bisa diterima sebagai alasan tingginya suku bunga kredit, sebab biaya logistik yang tinggi akan membuat biaya overhead yang dimasukkan ke dalam perhitungan suku bunga menjadi tinggi.
Melihat angka indikator perbankan Indonesia, terlihat ada hal yang sangat mencengangkan. Ternyata indikator Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) masih sangat tinggi. Angka ini masih stabil di kisaran 75%, jauh dari rata-rata negara ASEAN di kisaran 60%. Hal itu menunjukkan bahwa operasional bank-bank di Indonesia masih jauh dari kata efisien. Inilah sebenarnya yang menjadi sumber permasalahan tingginya suku bunga di Indonesia.
Struktur kepemilikan perbankan di Indonesia juga masih membuka celah untuk terciptanya manipulasi dalam penentuan suku bunga. Saya bahkan mencurigai adanya kartel antara beberapa bank besar di Indonesia untuk menetapkan suku bunga. Memang saat ini ada total 120 perbankan di Indonesia, namun kebanyakan adalah pemain kecil yang hanya sekedar follower. Pemain dengan pangsa pasar terbesar hanya dikuasai oleh beberapa bank saja. Kongkalikong antara pemain besar tersebut (terutama bank-bank BUMN) masih mungkin terjadi untuk menciptakan kartel suku bunga.
Sebenarnya isu ini adalah sangat penting sebab menjadi salah satu penyebab lemahnya daya saing bisnis di Indonesia, beum lagi ditambah lagi dengan permasalahan birokrasi dan infrastruktur yang masih buruk. Pemerintah harus secepatnya mengatasi persoalan ini jika ingin meningkatkan daya saing di dalam kawasan, terutama menyambut pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) 2015.