Pages

Ads 468x60px

Monday, April 29, 2013

Shifting Dana Global

Oleh: Arman Boy Manullang*
Dimuat di Koran Kontan, 29 April 2013

The Economic Times, 24 April 2013 melaporkan bahwa dana asing global telah keluar dari India sepanjang kuartal pertama 2013 mencapai USD 1,2 miliar. Penjualan dilakukan oleh pengelola dana global, seperti HSBC, Fidelity, dan JPMorgan. Dana yang keluar melalui pelepasan aset-aset domestik ini diakibatkan oleh peningkatan ketidakstabilan politik di negara itu. 
Indonesia pun menghadapi ancaman seperti ini, besar potensi aliran dana akan keluar dari dalam negeri dalam waktu dekat.
Aliran dana masuk Indonesia
Indonesia telah muncul menjadi investor darling bagi para investor global dalam beberapa tahun terakhir. Rating investment grade  akhirnya sukses diraih. Optimisme terhadap ekonomi Indonesia didukung oleh limpahan sumber daya alam, tenaga kerja yang relatif murah, dan pertumbuhan masyarakat kelas menengah. Peningkatan stabilitas politik dan implementasi reformasi yang sukses menjadi faktor yang memicu stabilitas makro. Seluruh dunia pun melirik Indonesia.
Stabilitas makro dalam negeri terlihat dari kebijakan suku bunga acuan yang diterapkan setahun belakangan. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga di angka 5,75% selama 15 kali, terhitung sejak Februari 2012.  Suku bunga yang stabil ini tentunya dipicu oleh inflasi yang terkendali.
Kebijakan suku bunga rendah di kawasan negara maju membawa berkah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Para pemilik dana dari negara maju itu mencari tempat memarkirkan dana yang mereka miliki. Dana pun mengalir ke negara-negara berkembang akibat tingginya potensi imbal hasil pasar ekuitas maupun Surat Utang Negara.
Optimisme akhirnya mewabah di kalangan pelaku pasar, memicu peningkatan harga aset dan surat berharga. IHSG berhasil mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, bahkan berhasil menembus level psikologis 5000. Ini terutama juga didorong oleh kinerja emiten yang sangat baik sepanjang 2012 sehingga berlomba-lomba membagikan dividen kepada pemegang saham.
Namun kekhawatiran mulai timbul saat ini di tengah euforia dan optimisme. Revisi pertumbuhan ekonomi global sudah dilakukan oleh lembaga dana moneter internasional (IMF) dari 3,5% menjadi 3,2%, meskipun banyak kalangan memperkirakan tidak berpengaruh terhadap ekpektasi pertumbuhan ekonomi domestik.
Saya rasa itu adalah pandangan yang optimis berlebihan, sebab integrasi perekonomian domestik ke global pasti membawa akibat, baik dalam skala besar maupun kecil. Ancaman inflasi juga sebenarnya sudah ada di depan, seiring dengan implementasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Tahun politik yang akan menyebabkan peningkatan uang yang beredar di masyarakat juga turut menyumbang ancaman inflasi.
Angka defisit neraca perdagangan juga terus membesar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit sebesar USD 327 juta pada Februari, melebar signifikan dibanding USD 75 juta di bulan Januari. Emiten di BEI yang berlomba ekspansi dengan pendanaan surat utang juga menyimpan potensi masalah. Belanja modal mayoritas dibiayai oleh efek hutang. Ini harus diwaspadai karena rawan default ketika terjadi kekacauan ekonomi. Ditambah lagi harga komoditas yang tak kunjung bangkit.
Dan ingat, ini adalah tahun politik. Adalah sulit bagi pemerintah membuat keputusan ketika terjadi benturan antara kalkulasi politik dengan logika ekonomi.
Saya khawatir, kalkulasi politik akan menang terhadap logika ekonomi. Dengan kata lain, pemerintah akan lebih memilih untuk mengorbankan stabilitas jangka panjang demi popularitas politik jangka pendek menjelang 2014. Penempatan Hatta Rajasa mengisi pos Menteri Keuangan menggeser Agus Martowardojo bisa dijadikan sebagai bukti.
Melihat kondisi Indonesia yang sudah menghangat menyambut pemilu 2014, investor global dipastikan tidak akan berani bertaruh dengan situasi ini. Konsekuensi yang paling logis adalah membawa pulang dana tersebut ke negaranya, atau memindahkan ke dalam instrumen tradisional yang didominasi oleh USD. Alokasi aset ke dalam instrumen emas juga sangat memungkinkan, mengingat harga sudah terkoreksi cukup dalam sehingga membuka peluang untuk membeli pada harga rendah.
Memanfaatkan tren aliran dana
Di Indonesia, aliran dana asing memang masih terus mengalir hingga sekarang. Namun patut diwaspadai bahwa aliran dana itu meningkat ke pasar surat utang Negara (SUN), sedangkan ke pasar ekuitas adalah negatif.
Dari sini terlihat sudah mulai ada shifting dana dana dari instrument ekuitas ke fixed income. Berarti sudah ada peningkatan resiko di pasar ekuitas Indonesia saat ini.
Melawan pergerakan arus dana besar tersebut adalah mustahil. Yang bisa dilakukan hanya mampu mengikuti di belakang mereka, atau setidaknya mencoba menebak apa yang akan mereka lakukan. Shifting investasi ke instrumen emas sudah bisa dilakukan saat ini. Jika khawatir harga emas masih akan turun, pembelian secara bertahap bisa dilakukan dengan menggunakan metode dollar cost averaging.
Memang tidak ada yang bisa memastikan Indonesia akan mengalami kejadian seperti India. Namun tidak ada juga yang bisa menjamin Indonesia tidak akan mengalami kejadian seperti itu. Orang bijak berkata: “Apa yang naik pasti akan turun.” Bukankah kita sudah cukup menikmati kenaikan selama ini? Mari bersiap dengan segala kemungkinan.

*Penulis adalah seorang pengamat pasar modal yang pernah bekerja di perusahaan sekuritas dan konsultan investasi asing di Indonesia.