Pages

Ads 468x60px

Wednesday, May 29, 2013

Gita Wirjawan: From Wall Street to Main Street


Beberapa kali saya melihat beliau dengan langsung, terasa sosok yang high profile dan sangat berkelas – ciri khas dari seorang Wall Street guy. Kharisma dan kepintarannya pun keluar ketika berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, cost of capital, convertible debts, mezzazine financing, dan terminologi lain yang akrab bagi yang berkutat di sektor keuangan.
Gita Wirjawan adalah success story dari seorang investment banker. Tak heran pula banyak banker-banker investasi muda di Indonesia menjadikan beliau sebagai panutan. Profesi ini memang belum familiar bagi orang Indonesia. Selain beliau, mungkin ada muncul nama Sandiaga Uno (Saratoga, Recapital), Patrick Walujo (Northstar Pacific), dan Tom Lembong (Quvat Capital – Principia Management).

Background

Gita memang bukan orang biasa, terlahir dari keluarga ningrat dengan latar belakang keluarga santri yang terpelajar. Keluarga mereka tumbuh dalam intelektualitas yang sangat baik. Alissa Wahid pernah berkata bahwa mereka masih memiliki kekerabatan sebagai keturunan pendiri Muhammadiyah.
Gita terlahir pada 21 September 1965 dari pasangan diplomat Wirjawan Djojosoegito dan Paula Warokka. Ayahnya adalah Dokter perwakilan Indonesia di WHO yang sering berpindah tugas keliling dunia. Ini membuatnya tumbuh menjadi sosok internasionalis, biasa bergaul dengan masyarakat antar negara sehingga memiliki pandangan yang sangat terbuka. Tidak heran Gita juga memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang persis seperti penutur asli.
Keluarga Wirjawan sukses menjadi profesional keuangan. Gita merupakan anak paling muda dari lima bersaudara. Dian Budiman Wirjawan pernah menjabat Dirut PT Danareksa menggantikan Glenn Yusuf. Wibowo Suseno Wirjawan adalah mantan Dirut PT Jakarta International Container Terminal, mantan Dirut PT Terminal Peti Kemas Koja, dan mantan deputi di BP Migas. Rianto Ahmadi Djojosoegito yang merupakan mantan Presiden Direktur PT Allianz Life Indonesia. Satu lagi seorang perempuan Marina Wirjawan.
Gita menikah dengan Yasmin Stamboel (cucu dari pahlawan Otto Iskandar Dinata) yang juga berlatar belakang yang sama dengan Gita. Yasmin terakhir menjabat sebagai Director, Analytical Manager and Team Leader – South and Southeast Asian Corporate and Infrastructure Ratings di Standard & Poor's Credit Market Services, Singapore. Saat ini dia adalah advisor di lembaga rating Pefindo dan Komisaris di XL Axiata Tbk.
Yasmin Stamboel adalah saudara dari Kemal Aziz Stamboel, Ketua Komisi I DPR RI periode 2009-2014 dari Partai PKS. Kemal pernah bekerja sebagai Presiden Direktur di PricewaterhouseCoopers (PwC) Consulting Indonesia dan Country Leader di IBM Business Consulting Indonesia.
Jabatan istri Gita di XL Axiata ini juga sebenarnya menarik ditelusuri sebab Gita pernah menjadi advisor dan profesional di STT (unit dari Temasek Singapura) yang membeli operator telekomunikasi XL dari Peter Sondakh.
Gita memulai pendidikan dengan belajar Musik dan Matematika. Belakangan banting setir mengambil mata kuliah Akuntansi, dan kemudian melanjutkan belajar Bisnis serta Administrasi Publik di Harvard University.
Gita menghabiskan sebagian besar karir di perusahaan keuangan asing. Dan ini pula yang melambungkan namanya. Sebut saja Citibank, STT, Goldman Sachs, dan terakhir JP Morgan. Tak heran orang selalu mengaitkan beliau dengan Amerika, atau menyebut dengan rezim neolib atau kapitalis.
Ketika bekerja di Goldman Sachs, Gita terlibat dalam divestasi Indosat kepada ST Telemedia (STT). Saat itu, dia merupakan advisor untuk ST Telemedia. Dia dianggap sebagai orang sukses dibalik deal besar dan kontroversial ini. ST Telemedia kemudian mengangkat Gita menjadi Senior Vice President.
Kemudian dia diangkat sebagai Presiden Direktur JP Morgan Indonesia.
Agustus 2012, Gita dipercaya menjadi menteri perdagangan ketika terjadi reshuffle kabinet. Sebelumnya Gita menjabat sebagai Kepala BKPM sejak 2010.

Ancora Capital

Ketajaman insting Gita teruji tahun 2008. Beberapa bulan sebelum krisis terjadi, dia sudah meramalkan krisis dan memutuskan untuk meninggalkan JP Morgan. Dia bersama dengan Ivor Orchard (seorang dedengkot di JP Morgan) dan Veronica Lukito mendirikan sebuah private equity bernama Ancora Capital dan menggalang dana untuk membeli perusahaan-perusahaan yang mengalami masalah keuangan ketika terjadi krisis.
Ancora Capital yang baru didirikan pada awal 2008 berhasil menghimpun dana investasi dari para investor asal Timur Tengah, Malaysia dan Brunei Darussalam yang mencapai $ 300 juta.
Dan krisis itu kemudian benar-benar terjadi. Dalam hitungan bulan, perusahaan ini mengambil alih sebagian saham PT Apexindo Pratama Duta Tbk., PT Bumi Resources Tbk, PT Multi Nitrat Kimia, perusahaan properti di Jakarta, dan sebuah perusahaan properti di Bali.
Ancora ada di balik penyelamatan bisnis keluarga Bakrie ketika terjadi krisis 2008. Ancora mengambil alih hutang Bakrie kepada JP Morgan senilai $ 75 juta dengan jaminan saham Bumi Resources. Dalam hitungan bulan, saham BUMI melejit hingga dikabarkan Gita mendapatkan profit dalam jumlah yang sangat besar. Aroma konflik kepentingan ada saat itu, sebab Gita masih menjabat sebagai penasehat tidak tetap di JP Morgan.

Kontroversi

Ancora Resources (OKAS) listing di BEI melalui metode backdoor tahun 2008. OKAS pernah dituduh melakukan manipulasi pajak oleh sebuah LSM bernama Forum Masyarakat Peduli Keadilan. Gita berkelit dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah terlibat dalam operasional perusahaan.
Aktivitas politik Gita tidaklah banyak terekam publik. Kedekatannya dengan Presiden SBY sudah tak diragukan lagi. Kepiawaiannya bermain musik membuat SBY jatuh hati kepada Gita dan menjadikannya anak emas. Gita juga berperan memfasilitasi putra pertama presiden ketika mengambil S2 di Harvard.
Peran Gita ketika bekerja sebagai banker dalam privatisasi berbagai BUMN (Terminal Tanjung Priok, Indosat, dan Semen Gresik) membuat publik sering mempertanyakan nasionalismenya. Kesan ini pula yang sekarang berusaha diubah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan perdagangan yang pro dalam negeri, seperti pembatasan franchise asing dan pembatasan impor barang tertentu.
Ancora Land sempat juga disebut-sebut menerima aliran dana Bank Century. Tuduhan ini memang sangat jauh dan terkesan berbau politis.
Karena jalinan koneksinya yang luas di internasional, ia kerap diminta pemerintah menjalin lobi dengan beberapa pemimpin dunia.
Perannya yang banyak membantu investor asing juga sering dipertanyakan publik. Gita selalu menjawab positif akan hal ini. Gita mengatakan bahwa itu adalah persepsi yang salah, karena apa yang dia lakukan adalah untuk kebaikan bangsa karena memungkinkan ekonomi untuk maju.
Gita mengatakan bahwa kondisi di Indonesia itu mirip dengan membangun rumah tetapi tidak memiliki cukup dana. Bangunan sudah hampir selesai sementara atap belum selesai. Kemudian orang asing datang untuk mengulurkan tangan. Tentu saja, dalam situasi bahwa kita harus menerima bantuannya. bagaimana kita bisa tinggal di rumah tanpa atap?
Di bidang sosial, Gita mendirikan Ancora Foundation yang banyak mengirimkan pelajar ke Harvard dan Nanyang. Gita juga mendirikan Ancora Golf yang melatih calon-calon pemain Golf professional.
Gita sangat mencintai music jazz. Itu pula yang melatar belakanginya mendirikan Omega Musik Production yang berhasil melejitkan nama Tompi dan Dewi Lestari. Bahkan pada akhir tahun 2005, ia bermain dengan beberapa kelompok jazz top dunia di Jakarta, yaitu Fourplay dan Bob James. Dia juga aktif mencipta lagu dan bermain alat music piano, biola, gitar, bas, saksofon.
Gita memang bisa hampir dikatakan sosok seorang Renaissance Man yang hidup di era modern –terminologi yang digunakan untuk menyebut manusia multi talent yang hidup di era Renaissance, seperti Leonardo da Vinci. Bisa dikatakan dia memiliki segalanya.
Karir beliau terbilang cepat dan selalu berhasil mengesankan atasannya, termasuk Presiden SBY. Tak heran dia selalu dipercaya untuk mengemban jabatan berikutnya yang lebih tinggi. Apakah Gita akan kembali melejit menjadi orang nomor satu atau dua di negeri ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Saturday, May 18, 2013

Anomali Pasar Saham dan Bahaya Bubble

Arman Boy Manullang
Pengamat Pasar Modal
Koran Kontan, Kamis, 23 Mei 2013

Ada anomali yang sangat terasa. Perekonomian global dan domestik sudah memberikan sinyal perlambatan. Ancaman inflasi sudah menunggu. Kondisi politik sudah memanas. Defisit neraca perdagangan melebar. Namun pasar saham tak kunjung memberikan sinyal pembalikan arah. IHSG terus menciptakan rekor level tertinggi baru. Semua saham diburu oleh investor yang kelaparan. Beli saham apa saja pasti untung.
Global (Amerika, Eropa, dan Jepang) menjalankan quantitative easing “printing money” policy sebagai solusi instan mengatasi krisis saat kebijakan suku bunga acuan mendekati 0% tidak efektif lagi. Akibatnya dunia kelebihan likuiditas. Kemana lagi larinya kalau bukan ke pasar saham yang menjanjikan return instan. Pasar saham akan menyerap uang sebanyak apa pun.
Dana mengalir ke negara berkembang, yield obligasi pemerintah menurun, konsumsi meningkat, bisnis semakin mudah mendapatkan pendanaan, harga aset keuangan meningkat. Semuanya adalah konsekuensi dari ease monetary policy.
Tampaknya market lebih digerakkan oleh sentimen. Fundamental dan argumen hanya digunakan untuk mendukung sentimen itu. Semua meneriakkan: “Buy! buy! buy!”. Tak peduli bagaimana kualitas aset itu.
Siapa yang menciptakan sentimen? Mereka adalah opinion maker. Ada ekonom, banker, fund manager, analis, media, dan pembuat kebijakan. Mereka yang membentuk konsensus. Mereka yang membentuk suara publik. Sayangnya kebanyakan mereka memiliki kepentingan.
Selebihnya adalah market followers.
Lihat dengan shale gas yang sudah mulai booming. Batubara dan Minyak Bumi yang dulu dipuja-puja, dalam sekejab dimaki bagai tak ada harga.
Siapa yang memulai semua ini? Mungkin mereka yang sudah melakukan investasi duluan. Argumen justifikasi yang sangat logis -- gas lebih ramah lingkungan dibanding batubara, dalam sekejab berhamburan di media.
Reputasi mereka yang berbicara memang sangat baik. Mereka layak dipercaya.
Tapi tunggu dulu. Bukankah analis meneriakkan buy sebelum Enron bangkrut? Bukankan media dan peramal selalu menulis prospek cerah sektor teknologi sebelum era kehancuran saham teknologi? Bukankah produk Lehman Brothers mendapatkan rating AAA sebelum bangkrut?
"Dalam beberapa bulan ke depan saya melihat pasar saham jauh lebih tinggi daripada hari ini." Demikian kata-kata yang diucapkan oleh Irving Fisher, Profesor Ekonomi di Universitas Yale, peraih pertama nobel ekonomi, tepat 14 hari sebelum Wall Street hancur pada Black Tuesday , 29 Oktober, 1929.
Tragis, dia kehilangan 140 juta (dalam dolar setara hari ini) dalam kehancuran pasar saham itu. Fisher adalah manusia jenius, seorang ekonom besar, seorang teoritikus yang sangat baik, salah satu pendiri ekonometrik, dan pelopor dalam analisis angka indeks.
John Maynard Keynes, ekonom Inggris yang paling terkenal, yang sebelumnya mengumpulkan kekayaan di pasar keuangan untuk dirinya dan Cambridge University, kehilangan 156 juta (dalam pound saat ini) dalam kejadian itu.

Myron S. Scholes, peraih nobel ekonomi 1997, salah seorang penemu formula Black-Scholes Equation untuk valuasi instrumen derivative, adalah partner di Long Term Capital Management (LTCM) ketika dilikuidasi akibat kerugian dalam jumlah sangat besar tahun 2000.
Ketika euforia optimisme berganti menjadi pesimisme, hutang yang sebelumnya dijustifikasi optimisme, akan berbalik arah dianggap berbahaya. Kreditor yang awalnya optimis, berubah menjadi panik, kemudian melakukan penyitaan paksa. Semua akan beramai-ramai mengajukan kebangkrutan. Ini adalah cerita klasik dari krisis yang berawal dari keserakahan.
Cerita bubble bukan hal baru di dunia ini: mulai dari The Dutch Tulip Mania 1637, The British South Sea 1922, The Dot-Com Boom 2000, hingga The Subprime Mortgage 2007. Dan semuanya berinti tentang keserakahan manusia.
Oh mengapa memori kita sangat pendek?
Tapi kita harus konsisten. Kita harus siap menghadapi konsekuensi apa yang kita anut. Ini adalah kapitalisme. Res tantum valet quantum vendi potest. Sesuatu hanya berharga ketika seseorang mau membayar untuk itu.
Kapitalisme “invisible hand” akan siap menghukum setiap kesalahan pelaku. Tak peduli siapa dia. Masalahnya, yang dihukum bukan hanya pelaku, bukan pula hanya hingga penonton, awam pun akan ikut dihukum.
Ekonomi memang terkadang sangat misterius. Banyak fenomena yang tidak bisa dijelaskan.
Tidak sulit untuk mendapatkan keuntungan dari pasar saham. Tapi yang sulit adalah mencukupkan diri. Manusia selalu ingin cepat kaya dengan cara yang mudah. Itulah yang selalu menjadi sumber setiap cerita pilu.
Ada joke klasik dalam pasar saham: Ketika ibu rumah tangga dan anak yang tidak memiliki penghasilan sudah ikut bermain saham, itulah tanda-tanda pasar saham akan hancur.
Pasar saham memang selalu menyisakan teka-teki. Dan kita akan terus melakukan rasionalisasi dan justifikasi dalam setiap kejadian.
Mereka bilang sejarah akan selalu berulang dengan sendirinya. Hanya nama, wajah, dan waktunya saja yang berbeda. Dan cerita ini akan terus berlanjut sepanjang manusia tidak mau belajar dari sejarah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai tambahan, ada kutipan menarik dari film Wall Street: Money Never Sleeps.
POOR MAN: I'd like a mortgage... I don't really have any money though... is that cool? 
BANKER MAN: Totally cool. Since housing prices are always going up it won't be a problem.
POOR MAN: You guys are awesome!
GORDON GECKO: You wanna know what the mother of all bubbles was? Us. The human race.

Tuesday, May 14, 2013

Skandal Bloomberg Terminal dan Insider Information

Kontan, 17 Mei 2013
Skandal penyalahgunaan informasi Bloomberg Terminal menyeruak beberapa hari ini. Isu ini tidaklah main-main sebab layanan ini digunakan oleh raksasa-raksasa keuangan dunia. Bahkan Gubernur Bank Sentral US (The Fed) Ben Bernanke menjadi sasaran penyusupan melalui Bloomberg Terminal. Siaran berita keuangan CNBC terus memanfaatkan isu ini untuk menjatuhkan reputasi Bloomberg. Wajar saja mengingat mereka merupakan kompetitor satu sama lain di divisi media televisi. Skandal ini juga memicu disorotnya kembali isu privasi terhadap informasi-informasi rahasia bisnis.
Skandal ini bermula dari Goldman Sachs yang mengajukan protes kepada Bloomberg. Goldman menuding jurnalis Bloomberg  memata-matai karyawan Goldman dengan menggunakan terminal Bloomberg  yang mereka gunakan.
Pada bulan lalu, seorang reporter Bloomberg Hongkong menghubungi Goldman Sachs dan menanyakan mengapa salah seorang eksekutif tidak pernah menggunakan mesin Bloombergnya dalam waktu yang cukup lama. Ini akhirnya menimbulkan kecurigaan bahwa ternyata reporter Bloomberg memata-matai aktifitas eksekutif di Goldman Sachs tersebut.
Yang menjadi masalah adalah reporter Bloomberg memanfaatkan akses informasi rahasia melalui terminal tersebut untuk bahan informasi ke media. Padahal sebenarnya layanan Bloomberg Terminal ini adalah divisi yang berbeda dengan divisi media (televisi dan majalah). Bagaimana mungkin seorang wartawan televisi Bloomberg memiliki akses terhadap pengguna layanan Bloomberg Terminal?
Bagi anda yang awam, Bloomberg Terminal adalah seperangkat komputer yang menyediakan data informasi keuangan secara realtime yang tersambung dengan seluruh belahan bumi melalui platform elektronik. Sistem perintah, monitor, dan keyboard yang digunakan perangkat ini juga berbeda dengan komputer umumnya. Oleh sebab itu seseorang biasanya membutuhkan training untuk bisa mengoperasikan.
Perusahaan ini didirikan dan 88% sahamnya dimiliki oleh Michael Bloomberg yang saat ini merupakan Walikota New York. Michael dulunya adalah seorang investment banker di Salomon Brothers dan saat ini tercatat sebagai orang terkaya nomor 7 di Amerika Serikat.
Pemain terminal informasi ini hanya ada dua di dunia saat ini, yaitu Bloomberg dan Reuters.
Layanan yang satu ini sangat mahal harganya. Perusahaan menghabiskan dana miliaran rupiah per tahun untuk mendapatkan layanan lengkap dengan seperangkat komputer yang dipinjamkan. Seingat saya layanan paling minimalnya harus membayar biaya subscription sekitar Rp 150 juta dan biaya langganan bulanan sekitar Rp 15 juta per user account untuk paket yang paling basic.
Peralatan yang satu ini memang sangat canggih dan menawarkan banyak kemudahan. Dengan sekali klik, kita bisa mendapatkan informasi keuangan dari New York, London, Frankfurt, Zurich, Hongkong, Tokyo, atau Singapura. Bahkan dari Jakarta kita bisa berkomunikasi dengan  seorang analis di Wallstreet dengan memanfaatkan alat ini. Borderless world!
Saya ingat sekitar 3 tahun lalu saat masih bekerja di level junior analis, setiap pagi sebelum pasar dibuka, saya bekerja dengan perangkat ini untuk melakukan update data keuangan dunia dan mengimpor ke dokumen excel untuk kemudian dilampirkan dalam research report yang didistribusikan kepada nasabah institusi dan ritel.
Bloomberg terminal mungkin adalah sesuatu yang wajib untuk profesional keuangan. Bank Sentral, otoritas pasar modal, perusahaan sekuritas, investment banking, bank komersial, asuransi, dan fund manager menggunakan platform ini. Saat ini ada lebih dari 315 ribu pelanggan di seluruh dunia.
Bank Sentral dan otoritas pasar modal menggunakan layanan ini untuk memantau informasi keuangan dunia. Divisi treasury di bank menggunakan layanan ini untuk mengatur transaksi atau lindung nilai (hedging) yang berhubungan dengan currency atau foreign exchange. Perusahaan asuransi dan fund manager menggunakan layanan ini untuk memantau portofolio mereka yang tersebar di seluruh dunia.

Insider information

Isu privacy pun kembali menjadi sorotan saat ini. Pun saya dari dulu sudah sering memikirkan betapa banyaknya celah untuk mendapatkan informasi rahasia perusahaan, salah satunya melalui mesin Bloomberg ini.
Di era sekarang ini dimana informasi kebanyakan berbasis teknologi, dipastikan dokumen ada dalam bentuk digital. Setiap dokumen digital pasti akan meninggakan jejak. Inilah yang rentan untuk dibajak atau disusupi. Mungkin tidak perlu seorang hacker sejenius Julian Assange Wikileaks untuk menembus data ini. Cukup seorang anak muda yang tekun, sabar, menguasai bahasa pemrograman, dan sanggup duduk di depan komputer berhari-hari.
Dan kebanyakan eksekutif tidak sadar bahwa data yang mereka pegang sangat sensitif dan rentan untuk dicuri. Akibatnya mereka tidak terlalu memperhatikan permasalahan security. Saya saksikan sendiri terkadang beberapa data sensitif tidak diproteksi dengan aman dan dengan mudah bisa saya ambil untuk disalahgunakan.
Berhungan dengan insider information, cara dengan menyusup melalui jaringan IT mungkin adalah yang relatif lebih sederhana dan mudah, walaupun mungkin beresiko. Sementara yang terjadi selama ini, perusahaan lebih banyak memanfaatkan jasa economic/industrial/corporate espionage yang sangat mahal. Layanan spionase intelijen bisnis pihak ketiga ini biasanya memanfaatkan karyawan atau orang dalam. Bisa jadi orang dalam tersebut disuap, atau bisa jadi juga tidak sadar bahwa dia banyak membocorkan informasi rahasia melalui obrolan-obrolan.
Kompetitor adalah salah satu pihak yang rentan mencuri informasi. Berbagai cara akan digunakan untuk mendapatkan informasi pihak lain.
Ini memang adalah wilayah yang abu-abu dan sering mengundang kritik karena tidak etis. Tetapi itu adalah praktek dalam dunia nyata. Informasi itu memang sangat mahal harganya. Siapa yang menguasai informasi, dia akan menjadi pemenang. Semoga kejadian ini bisa menyadarkan kita akan pentingnya privasi untuk data-data sensitif.



Wednesday, May 8, 2013

Rating Investasi dan Subsidi BBM


Salah satu alasan bagi S&P tak kunjung memasukkan Indonesia ke rating investment grade adalah adalah permasalahan subsidi energi yang tak kunjung berakhir. Kontras dengan dengan Filipina yang sudah dimasukkan ke dalam rating layak investasi BBB-. Pada 2 Mei 2013, S&P mempertahankan status Indonesia di level BB+ dan menurunkan prospek dari positif menjadi stabil. Dan kebetulan saat ini, Indonesia sedang meributkan kenaikan harga BBM untuk kesekian kalinya.
Indonesia dan Filipina adalah sama-sama negara berkembang di Asia Tenggara yang sudah menjalankan libelarisasi dan reformasi ekonomi dalam beberapa dekade terakhir. Dan hasil dari liberalisasi itu sudah terlihat dalam sektor ekonomi. Dividen dari liberalisasi ekonomi sudah dinikmati oleh kedua negara.
Bedanya, Indonesia masih berjuang dengan masalah struktural sebagai ciri khas negara berkembang. Sedangkan Filipina melaju terus dengan mantap. Dan sayangnya, permasalahan di Indonesia ini adalah tentang politik.
Relevansi rating negara
Rating adalah sesuatu yang sangat penting bagi investor global karena menunjukkan tingkat kepercayaan mereka terhadap suatu instrumen investasi. Banyak fund-fund asing yang membatasi alokasi aset harus ke negara-negara yang sudah mendapatkan status layak investasi. Akibatnya, negara yang tidak memiliki status ini tidak akan kebagian aliran dana itu. Dan jika suatu negara kehilangan status ini, dipastikan dana yang sudah terlanjur masuk akan dievaluasi kembali.
Relevansinya ke suatu negara adalah financing cost. Semakin bagus rating suatu negara berarti semakin kecil resiko default. Maka beban bunga yang harus ditanggung negara itu akan semakin mengecil ketika melakukan pendanaan dari pasar global.
Studi empiris sudah banyak membuktikan hal ini. Penelitian terbaru yang dilakukan Laura Jaramillo dan Catalina Michelle Tejada tahun 2011 menunjukkan bahwa status Investment Grade mengurangi financing cost suatu negara secara signifikan. Penelitian ini menggunakan sampel 35 emerging markets dalam rentang tahun 1997-2010. Hasilnya bahwa status investment grade mampu menurunkan spread sebesar 36%. Yang pada akhirnya akan memicu sentimen positif internasional karena berkurangnya rasio Utang terhadap PDB suatu negara. Akibatnya aliran dana akan terdorong masuk dengan basis investor yang semakin terdiversifikasi.
Dan sayangnya di Indonesia, sesuatu yang liberal dan identik dengan asing itu dicitrakan negatif oleh publik. Saya sering tidak paham dengan pelabelan ini. Sehingga cara yang paling gampang untuk populis dan disukai publik di indonesia adalah dengan membawa isu anti asing.
Kaitan dengan Subsidi Energi
Permasalahan subsidi energi ini bukan merupakan hal yang baru. Indonesia saat ini menghadapi ancaman defisit anggaran yang tidak terkendali akibat besarnya subsidi BBM dan listrik yang membebani APBN. Dan pada akhirnya mengancam posisi neraca pembayaran. Pemerintah tidak bisa leluasa menjalankan program pembangunan mengingat terbatasnya ruang anggaran.
Dalam APBN 2013, pemerintah menganggarkan belanja subsidi energi sebesar Rp274,7 triliun yang terdiri atas subsidi BBM Rp193,8 triliun dan subsidi listrik Rp80,9 triliun. Sedangkan penerimaan negara mencapai Rp 1.529,7 triliun dan alokasi belanja negara Rp 1.683 triliun sehingga akan ada defisit Rp 150,3 triliun atau 1,65% dari PDB.
Coba kita bayangkan, angka subsidi yang sangat besar inilah yang sebenarnya menjadi sumber defisit anggaran. Bahkan angka subsidi BBM sebesar 193,8 triliun jauh melebihi defisit anggaran yang sebesar Rp 150,3 triliun.
Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan berjudul 2013 Asia’s Energy Challenge sudah mengingatkan hal tersebut. ADB mencatat, pada 2010 hanya 6% dari masyarakat tidak mampu Asia yang menikmati subsidi BBM, 6% subsidi elpiji, 6% diesel, 9% listrik, 10% gas alam, serta 15% minyak tanah. Dengan demikian, ketergantungan terhadap energi fosil justru memperlebar jarak antara kaya dan miskin karena kalangan mampulah yang semakin diuntungkan dengan subsidi.
ADB juga mencatat bahwa Asia menjadi kawasan dengan pasokan energi termiskin di dunia. Tanpa adanya energi alternatif, pada 2035 konsumsi minyak di Asia akan naik dua kali lipat.
Tidak akan habis argumen terhadap pro kontra kebijakan pencabutan subsidi energi ini. Yang pasti, jika Indonesia ingin mampu bersaing di era keterbukaan saat ini, tidak ada cara lain harus memberikan perhatian lebih terhadap reformasi di sektor energi. Itu semua adalah tentang kemauan politik, bukan semata-mata logika ekonomi.
Dan saya rasa sudah terlambat jika berharap kepada rezim pemerintahan Presiden SBY. Sayangnya diantara kandidat calon presiden yang sudah mulai memunculkan diri saat ini, belum ada yang berani memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan ini. Mungkin jika ada calon presiden yang berani mengatakan akan melaksanakan kebijakan non-populis dengan mencabut atau setidaknya mengurangi ketergantungan terhadap subsidi energi, saya akan memilihnya. Karena tanpa perubahan radikal pada sektor energi ini, dipastikan perekonomian Indonesia tidak akan berjalan kemana-mana.

Mind Without Fear


Hari ini adalah hari kelahiran pujangga besar asal India Rabrindanath Tagore (1861 - 1941), seorang filsuf yang berhasil membawa pemikiran dan budaya Asia sejajar dengan karya-karya Barat sehingga mendapatkan hadiah nobel bidang sastra tahun 1913.
Sekitar 9 tahun lalu pertama kali saya mengenal salah satu karya Rabrindanath Tagore, yaitu Mind Without Fear.  Karya ini banyak mempengaruhi jalan hidup yang saya pilih hingga saat ini. Menginspirasi saya tentang arti kemerdekaan dan kebebasan bagi seorang individu. Tagore tidak mendefenisikan Kemerdekaan sebagai sesuatu yang besar dan kuat, tetapi hanya sesederhana kebebasan pikiran dari rasa takut.
Karya ini menginspirasi kita untuk berani mengambil langkah yang berbeda dengan umum, mengejar passion, melepaskan diri dari label dan stigma, melepaskan diri dari belenggu pemikiran yang kerap membuat manusia menjadi individu yang kaku dan picik.

Mind Without Fear - Rabrindanath Tagore

Where the mind is without fear and the head is held high
Where knowledge is free
Where the world has not been broken up into fragments
By narrow domestic walls
Where words come out from the depth of truth
Where tireless striving stretches its arms towards perfection
Where the clear stream of reason has not lost its way
Into the dreary desert sand of dead habit
Where the mind is led forward by thee
Into ever-widening thought and action
Into that heaven of freedom,my Father, let my country awake.