Pages

Ads 468x60px

Wednesday, May 8, 2013

Rating Investasi dan Subsidi BBM


Salah satu alasan bagi S&P tak kunjung memasukkan Indonesia ke rating investment grade adalah adalah permasalahan subsidi energi yang tak kunjung berakhir. Kontras dengan dengan Filipina yang sudah dimasukkan ke dalam rating layak investasi BBB-. Pada 2 Mei 2013, S&P mempertahankan status Indonesia di level BB+ dan menurunkan prospek dari positif menjadi stabil. Dan kebetulan saat ini, Indonesia sedang meributkan kenaikan harga BBM untuk kesekian kalinya.
Indonesia dan Filipina adalah sama-sama negara berkembang di Asia Tenggara yang sudah menjalankan libelarisasi dan reformasi ekonomi dalam beberapa dekade terakhir. Dan hasil dari liberalisasi itu sudah terlihat dalam sektor ekonomi. Dividen dari liberalisasi ekonomi sudah dinikmati oleh kedua negara.
Bedanya, Indonesia masih berjuang dengan masalah struktural sebagai ciri khas negara berkembang. Sedangkan Filipina melaju terus dengan mantap. Dan sayangnya, permasalahan di Indonesia ini adalah tentang politik.
Relevansi rating negara
Rating adalah sesuatu yang sangat penting bagi investor global karena menunjukkan tingkat kepercayaan mereka terhadap suatu instrumen investasi. Banyak fund-fund asing yang membatasi alokasi aset harus ke negara-negara yang sudah mendapatkan status layak investasi. Akibatnya, negara yang tidak memiliki status ini tidak akan kebagian aliran dana itu. Dan jika suatu negara kehilangan status ini, dipastikan dana yang sudah terlanjur masuk akan dievaluasi kembali.
Relevansinya ke suatu negara adalah financing cost. Semakin bagus rating suatu negara berarti semakin kecil resiko default. Maka beban bunga yang harus ditanggung negara itu akan semakin mengecil ketika melakukan pendanaan dari pasar global.
Studi empiris sudah banyak membuktikan hal ini. Penelitian terbaru yang dilakukan Laura Jaramillo dan Catalina Michelle Tejada tahun 2011 menunjukkan bahwa status Investment Grade mengurangi financing cost suatu negara secara signifikan. Penelitian ini menggunakan sampel 35 emerging markets dalam rentang tahun 1997-2010. Hasilnya bahwa status investment grade mampu menurunkan spread sebesar 36%. Yang pada akhirnya akan memicu sentimen positif internasional karena berkurangnya rasio Utang terhadap PDB suatu negara. Akibatnya aliran dana akan terdorong masuk dengan basis investor yang semakin terdiversifikasi.
Dan sayangnya di Indonesia, sesuatu yang liberal dan identik dengan asing itu dicitrakan negatif oleh publik. Saya sering tidak paham dengan pelabelan ini. Sehingga cara yang paling gampang untuk populis dan disukai publik di indonesia adalah dengan membawa isu anti asing.
Kaitan dengan Subsidi Energi
Permasalahan subsidi energi ini bukan merupakan hal yang baru. Indonesia saat ini menghadapi ancaman defisit anggaran yang tidak terkendali akibat besarnya subsidi BBM dan listrik yang membebani APBN. Dan pada akhirnya mengancam posisi neraca pembayaran. Pemerintah tidak bisa leluasa menjalankan program pembangunan mengingat terbatasnya ruang anggaran.
Dalam APBN 2013, pemerintah menganggarkan belanja subsidi energi sebesar Rp274,7 triliun yang terdiri atas subsidi BBM Rp193,8 triliun dan subsidi listrik Rp80,9 triliun. Sedangkan penerimaan negara mencapai Rp 1.529,7 triliun dan alokasi belanja negara Rp 1.683 triliun sehingga akan ada defisit Rp 150,3 triliun atau 1,65% dari PDB.
Coba kita bayangkan, angka subsidi yang sangat besar inilah yang sebenarnya menjadi sumber defisit anggaran. Bahkan angka subsidi BBM sebesar 193,8 triliun jauh melebihi defisit anggaran yang sebesar Rp 150,3 triliun.
Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan berjudul 2013 Asia’s Energy Challenge sudah mengingatkan hal tersebut. ADB mencatat, pada 2010 hanya 6% dari masyarakat tidak mampu Asia yang menikmati subsidi BBM, 6% subsidi elpiji, 6% diesel, 9% listrik, 10% gas alam, serta 15% minyak tanah. Dengan demikian, ketergantungan terhadap energi fosil justru memperlebar jarak antara kaya dan miskin karena kalangan mampulah yang semakin diuntungkan dengan subsidi.
ADB juga mencatat bahwa Asia menjadi kawasan dengan pasokan energi termiskin di dunia. Tanpa adanya energi alternatif, pada 2035 konsumsi minyak di Asia akan naik dua kali lipat.
Tidak akan habis argumen terhadap pro kontra kebijakan pencabutan subsidi energi ini. Yang pasti, jika Indonesia ingin mampu bersaing di era keterbukaan saat ini, tidak ada cara lain harus memberikan perhatian lebih terhadap reformasi di sektor energi. Itu semua adalah tentang kemauan politik, bukan semata-mata logika ekonomi.
Dan saya rasa sudah terlambat jika berharap kepada rezim pemerintahan Presiden SBY. Sayangnya diantara kandidat calon presiden yang sudah mulai memunculkan diri saat ini, belum ada yang berani memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan ini. Mungkin jika ada calon presiden yang berani mengatakan akan melaksanakan kebijakan non-populis dengan mencabut atau setidaknya mengurangi ketergantungan terhadap subsidi energi, saya akan memilihnya. Karena tanpa perubahan radikal pada sektor energi ini, dipastikan perekonomian Indonesia tidak akan berjalan kemana-mana.

1 comments:

Anjaz said...

Mantaaap Gan,...Tapi memang kok sebagian besar kepemilikan Energy di indonesia dikuasai Anjing..eh,Asing kok.

Yah,..kasian banget sih Indonesia.
Bangun tidur Loh minum apa ? apa Aqua ? (74% sahamnya milik Danone perusahaan Perancis) atau Teh Sariwangi (100% saham milik Unilever Inggris.) Minum susu SGM (milik Sari Husada yg 82% sahamnya dikuasai Numico Belanda). -Lalu mandi pakai Lux dan Pepsodent (Unilever, Inggris). -Sarapan ? Berasnya beras impor dari Thailand (BULOG pun impor).
#Tepok jidat