Pages

Ads 468x60px

Monday, June 17, 2013

Sajak tentang Laut

Kalau kau merasa hebat
kalau kau merasa besar
cobalah pergi ke tengah laut luas
dalam deburan ombak
Kau akan merasa dirimu tak berarti

Deburan ombak, laut tak berujung, 
cakrawala tak terjangkau
akan hancurkan ego dan kesombonganmu
ragamu hanyut dibawa deburan ombak
jiwamu melayang ke batas kaki langit

Kau boleh memiliki segalanya
kau boleh dihormati orang
namun semuanya akan habis 
dalam satu sapuan ombak
meninggalkan sepi tak bersisa

Terpujilah yang hidup di laut
karena merekalah yang menghargai hidup
terkutuklah pencari kemapanan di darat
karena mereka tidak menghargai hidup


Pantai Carita, tengah malam 16 Juni 2012, dengan jantung bergetar dan tulang gemerutuk.

Saturday, June 8, 2013

Menggugat Konsumsi Orang Kaya Baru

Kontan, 12 Juni 2013




Perilaku konsumsi yang tidak terkendali tampaknya sudah mulai merasuki masyarakat Indonesia. Setidaknya begitulah fenomena yang terjadi terutama di kawasan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Starbucks, Toyota Kijang, Bioskop 21, Zara, iPhone, Galaxy adalah keseharian masyarakat modern kelas menengah.
Propaganda ini sering digunakan mendukung argumen prospek ekonomi Indonesia yang memang terbukti hingga saat ini. Ekonomi Indonesia berhasil tumbuh positif di tengah pelemahan ekspor akibat terjangan krisis global dan pelemahan harga komoditas.
Fenomena Conspicuous Consumption menggambarkan ini semua. Awalnya Conspicuous Consumption diperkenalkan oleh Ekonom dan Sosiolog Norwegia-Amerika Thorstein Veblen dalam bukunya "The Theory of the Leisure Class" pada tahun 1899.
Terminologi ini digunakan untuk menggambarkan perilaku orang-orang kaya baru pasca Revolusi Industri tahap kedua (1860-1914). Orang membeli sesuatu tidak berdasarkan kebutuhan, namun hanya untuk sekedar dipamerkan atau menunjukkan kelas dalam masyarakat. Membeli sesuatu hanya untuk membuat orang lain terkesan.
Demikian pula yang terjadi dengan Indonesia pasca liberalisasi perekonomian dan demokratisasi. Ekonomi yang stabil telah melahirkan orang kaya baru. Bank Dunia menyebutkan tahun 2010 ada 56,5% populasi penduduk Indonesia yang digolongkan kelas menengah. Konsultan Manajemen Global BCG (Boston Consulting Group) menyebutkan tahun ini ada 74 juta masyarakat kelas menengah Indonesia dan akan menjadi 2 kali lipat tahun 2020.
Mereka ini berasal dari golongan pekerja (working class) yang hidup dari mengabdi kepada pemilik modal. Mereka ini adalah golongan yang tidak memiliki selera, pendirian, dan hanya mengikut arus. Kebutuhan mereka tidak terpaku hanya pada kebutuhan primer saja, melainkan sudah beranjak ke kebutuhan sekunder dan tersier. Gaya hidup adalah sesuatu yang penting bagi mereka. Mereka inilah yang membuat penuh mall setiap hari dan menghabiskan waktu dengan nongkrong di café.
Salah satu karakter mereka adalah porsi konsumsi yang tinggi atas jumlah pendapatan. Konsumsi atas barang dan jasa yang tidak benar-benar dibutuhkan meningkat tajam. Mereka adalah orang yang lahap menghabiskan berbagai macam fasilitas kredit yang disediakan oleh perbankan. Mereka juga doyan gonta-ganti gadget.
Bagi kalangan yang benar-benar mampu, perilaku yang sudah mendekati hedonisme ini mungkin tidak masalah karena akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya dalam masa krisis, pemerintah selalu mendorong konsumsi masyarakat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi.
Namun masalah sosial timbul ketika ada sekelompok masyarakat yang memaksakan diri untuk melakukan konsumsi produk ini. Ketika penghasilan tidak mencukupi pemenuhan gaya hidup, perilaku koruptif akan muncul. Angka kriminal juga akan meningkat. Masyarakat akan hidup dalam gelimang hutang.
Saya mengkhawatirkan tingkat pembelian properti dan kenderaan di Indonesia yang tinggi saat ini bersumber dari uang seperti ini. Lihat saja bagaimana para pelaku korupsi mencuci uang dengan membeli apartemen, rumah, mobil, dan barang mewah lain.
Sangat kontras pula ketika kita menghujat kapitalisme sementara kita menikmati produknya setiap hari. Mengklaim diri anti kapitalisme sementara kita terbiasa nongkrong di starbucks. Memuja sistem ekonomi kerakyatan sementara terbiasa berbelanja di toko peritel modern.

Pertumbuhan semu

Apa yang dapat kita pelajari dari fenomena ini? Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa konsumsi golongan menengah tersebut adalah buruk. Tidak sama sekali. Toh mereka itu adalah ujung tombak mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun saya khawatir pertumbuhan ekonomi seperti ini adalah semu. Jika kita mempertahankan mindset ekonomi yang didorong konsumsi, saya kira kondisi riil masyarakat kita akan tetap terkungkung dalam kemiskinan. Sebab penghasilan yang dimiliki hanya akan dihabiskan untuk memenuhi kebuasan belanja dan aktifitas menghabiskan tanpa berpikir aktifitas produksi. Mindset konsumsi harus diubah menjadi mindset produksi dan penciptaan nilai tambah ekonomi.
Mungkin sudah saatnya pula kita mengubah pandangan tentang ukuran kesuksesan ciri khas negara dunia ketiga: kesuksesan dilihat dari harta kekayaan yang berhasil dikumpulkan.
Kita sebagai individu perlu memperhatikan porsi investasi atas penghasilan, bukan sekedar menyisihkan sebagian kecil. Sejatinya konsumsi atas barang sekunder dan tersier dilakukan ketika kita pendapatan sudah dikurangi dengan konsumsi barang pokok dan investasi. Namun yang terjadi, orang melupakan investasi demi mengejar kebahagiaan semu dan pengakuan dari masyarakat.
Dan tanpa sadar kita hanya akan menjadi sasaran empuk dari pemodal. Pemodal memberikan gaji, kemudian gaji dikembalikan kepada pemodal melalui konsumsi yang tidak terkendali. Dengan kata lain, kita akan tetap dalam status mengabdi kepada kaum borjuis. Konyol sekali.
Sedikit intermezzo, Pope Franciscus baru saja berkicau tentang ini dalam akun twitter @pontifex. Dia berkata: “Consumerism has accustomed us to waste.  But throwing food away is like stealing it from the poor and hungry.”