Pages

Ads 468x60px

Thursday, July 4, 2013

Ilusi Objektivitas


Satu ketika saya bertanya kepada seorang teman: “Seberapa yakinkah kamu dengan agama yang kamu anut?”. Dia menjawab: “100 persen!”. Ketika saya melakukan eksplorasi terhadap keyakinannya itu, ternyata yang saya dapatkan tak lebih dari keyakinan tanpa dasar yang jelas.
Okelah, itu adalah hak setiap orang. Saya tidak tertarik membahas tentang keyakinan. Debat kusir tentang ini tidak akan pernah berakhir. Saya hanya tertarik mendalami perilaku manusia.
Ini adalah contoh salah satu bias dalam hidup manusia yang disebut dengan over-confidence effect. Suatu keyakinan yang melebihi akurasi sebenarnya atau rasio. Bagaimana dapat dikatakan yakin 100% sementara bertemu dengan Tuhan, Surga, dan Neraka saja tidak pernah. Semua gambarannya hanya didapat dari kitab suci.
Fenomena ini banyak kita jumpai dalam kehidupan. Seorang karyawan cenderung menilai dirinya lebih tinggi sehingga menuntut gaji yang lebih besar lagi. Bubble dalam pasar saham dan harga komoditas juga dipicu optimisme yang berlebihan.
Itu pula yang terjadi dengan perekonomian Indonesia pasca mendapat rating investment grade. Kita menganggap Indonesia sebagai idola baru di dunia. Akibatnya, pemerintah, sadar atau tidak, banyak membuat kebijakan yang menyakitkan asing. Politisi juga semakin mengobarkan semangat anti asing. Simple saja alasannya: masyarakat sangat menyukai isu anti asing ini. Politisi yang terkesan anti asing, akan punya peluang lebih besar untuk dipilih masyarakat lugu dalam pemilihan nanti.
Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Perekonomian kita mengalami batuk-batuk ketika asing melakukan serangan kecil dengan membawa modal keluar dari Indonesia. Saya selalu mengatakan bahwa kita harus membangun indonesia dengan akal sehat, bukan hanya berdasar nasionalisme yang sempit.
Ketika berkutat dalam melakukan due-diligence terhadap suatu bisnis atau penilaian terhadap seorang personal tokoh, pemikiran skeptis ini banyak membantu saya dalam memformulasikan resiko. Setidaknya itulah yang saya peroleh dalam pengalaman yang masih pendek. Saya harus mengetahui siapa dan latar belakang seseorang untuk dapat memahami perannya dalam suatu masalah dan mengukur potensi resiko. Saya harus melakukan eksplorasi ke hal yang paling fundamental.
Kita ilustrasikan misalnya dalam suatu pengadilan. Seorang pengacara bertugas membela terdakwa sehingga wajar jika membela habis-habisan dengan mengesampingkan kesalahan. Sementara seorang jaksa penuntut akan menuntut habis-habisan si terdakwa dengan mengesampingkan hal positif. Semuanya itu tak terlepas dari peran  masing-masing. Jadi, mari melupakan objektivitas. Itu hanya bahasa retorika dan omong kosong.
Namun begitupun, bukan berarti kita boleh memelihara faktor subjektif. Konsep objektivitas atau bebas nilai mungkin memang hanya suatu ilusi. Tetapi mungkin ilusi yang bermanfaat. Objektivitas semu itu harus berusaha dicapai. Agar kita tidak tumbuh menjadi seorang manusia picik dengan wawasan dan perspektif yang sempit satu arah. Walaupun sempurnanya mungkin hanya utopis.
Semakin saya mendalami pemikiran-pemikiran orang hebat, semakin saya merasa bahwa konsep bebas nilai hanyalah satu ilusi. Tak lebih dari kemunafikan para pemikir itu. Menutupi subjektivitas dengan mengatakan diri bebas nilai.
Mungkin subjektivitas sudah merupakan sifat manusia. Bagaimanapun melawan itu, manusia tidak akan bisa terlepas. Masing-masing manusia berangkat dari satu domain yang mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Tidak akan pernah ada dua manusia yang identik. Ini pula yang membuat penilaian terhadap sesuatu adalah wajar berbeda. Artinya objektivitas setiap orang adalah berbeda.
Sebab itu, dalam melakukan penilaian terhadap satu hal, manusia sangat tergantung dengan konsensus atau kesepakatan universal.  Orang yang berhasil menyelaraskan diri dengan konsensus, disebut oleh masyarakat sebagai manusia normal.
Mungkin agama dan berbagai dongengnya adalah salah satu ilusi terbesar manusia. Mungkin menurut saya. Dan jangan lupa, saya juga berangkat dari skeptimisme terhadap agama. Saya tidak akan pernah mampu menilai agama dengan objektif.
Oke mulai sekarang saya tidak akan berani mengatakan diri sebagai makhluk yang rasional. Sebab banyak perilaku saya yang sebenarnya juga tidak masuk akal. Rokok yang jelas-jelas merugikan masih saya konsumsi hingga sekarang.
Bahkan kalau anda adalah orang yang teliti dan memiliki kemampuan menafsir bahasa yang baik, argumen-argumen yang saya berikan diatas sudah menggambarkan semuanya. Anda akan banyak menemukan kontradiksi. Tulisan ini adalah gambaran dari apa yang saya tulis ini. Tulisan ini tak lebih dari dari penilain subjektif yang saya kemas dengan seolah-olah objektif.
Sekarang saya coba memberikan pertanyaan kepada anda. Berapakah negara anggota organisasi pengekspor minyak (OPEC)?
a) antara 10-15 negara
b) antara 15-20 negara
c) diatas 20 negara
Coba masing-masing ketiga jawaban diatas anda beri persentase keyakinan sebagai jawaban yang benar. Kemudian coba anda cek disini jawaban yang benar. Apakah anda mengalami juga fenomena over-confidence? Berhati-hatilah dalam membuat keputusan. Saat percaya diri sudah berlebih, saat itulah resiko akan mulai diabaikan.