Pages

Ads 468x60px

Saturday, August 16, 2014

Membahas tentang Nasionalisme


Nasionalisme, khususnya dalam konteks negara yang pernah mengalami masa kolonial seperti Indonesia, menjadi salah satu topik yang hangat. Ada pendapat bahwa rasa nasionalisme berguna sebagai 'alat' untuk orang-orang dalam perjuangan anti-kolonial, untuk membakar semangat dan memunculkan rasa senasib yang tertindas.
Beberapa ribu tahun yang lalu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok suku di tengah hutan, biasanya kurang dari seratus masing-masing. Para individu dalam suku ini umumnya hanya dikawinkan dengan sesama suku - sehingga gen dari dua individu dalam suku yang sama lebih mirip daripada gen dari dua individu di seluruh suku. Persaingan untuk sumber daya yang terbatas hadir dalam hutan sering menyebabkan perang antar suku, dan dalam perang ini akan masuk akal (masuk akal bagi gen kita) untuk memperjuangkan suku dan bahkan mati untuk itu, karena itu akan berarti kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup gen kita.
Akibatnya perilaku dasar ini sudah dikodekan dalam gen kita. Manusia terus menciptakan afiliasi-afiliasi untuk melindungi kepentingannya. Bentuk pertama dari perlindungan dan kesetiaan biasanya adalah keluarga. Kemudian individu membuat afiliasi semakin besar: suku, pekerjaan, partai politik, bangsa, dan dunia.
Saya pikir, akar dari nasionalisme sudah mengalir dalam darah manusia, menjadi naluri dasar untuk bertahan hidup, pelestarian diri, dan melanjutkan keberlangsungan keturunan. Bahkan spesies  binatang juga menunjukkan 'nasionalisme' dalam bentuknya sendiri.
Sekarang, manusia telah sangat berkembang, namun mungkin tidak begitu banyak berubah (mungkin tidak sama sekali). Gen kita masih mencari "suku" untuk diri sendiri dan terus mencari kelompok. Agama, kasta, ras, ideologi - dan kebangsaan - semua digunakan sebagai bentuk identitas komunal. Salah satu bagian utama berada di sebuah komunitas adalah untuk melihat rasa kesatuan dengan anggota lain dari komunitas dan keberbedaan terhadap komunitas-komunitas lain. Sekaligus ini menyimpan bahaya karena hanya menciptakan dua kelompok yang cenderung mengarah ke pikiran sempit: kita dan yang lainnya, pihak selain kita adalah musuh.
Sekarang, nasionalisme dalam konteks bahan jualan politisi saat pemilu, misalnya isu anti asing, semangatnya tidak berbeda dari fanatisme agama, rasisme atau kasta. Dalam setiap kasus ini, orang-orang berharap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat mereka sendiri, kadang-kadang dengan mengorbankan yang lain. Dan tampaknya bahan jualan politik seperti ini masih laku, padahal tak lebih dari mengobarkan semangat permusuhan. Fakta sejarah menunjukkan tindakan pembantaian massal dan diskriminasi banyak menggunakan nasionalisme sebagai justifikasi.
Setiap orang di dunia adalah individu mementingkan diri sendiri. Kasarnya, semua orang di dunia ini egois dan ingin memaksimalkan keuntungannya. Pemerintah ingin memastikan bahwa orang-orang bekerja untuk membangun bangsa. Warga ingin masyarakat mereka berkembang maju dan ingin semua orang berkontribusi untuk ini sebanyak mungkin, karena masyarakat maju dan bangsa pada akhirnya menguntungkan mereka.
Nasionalisme dalam praktik tak lebih dari bentuk tribalisme kuno untuk melampiaskan perilaku barbar manusia, pengaturan default pada semua spesies sosial. Ini bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan seperti dalam membela bangsa di masa perang, tetapi dalam masa damai, kita paling sering mengasosiasikannya dengan arogansi dan agresi. Hanya ada garis tipis antara "Saya bangga siapa saya" dengan "Saya lebih baik daripada Anda ".
Bagi saya, nasionalisme adalah hal absurd, mirip dengan mengatakan “Ayah saya adalah pria terbaik di dunia”, atau “Pacar saya adalah wanita tercantik di muka bumi”. Kita akan menciptakan rasionalisasi dan banyak alasan untuk berkata demikian, tapi klaim kita tentang dia menjadi yang terbaik di dunia tidak tidaklah seserius itu. Namun, orang juga memahami alasan kita untuk mengatakan begitu.
Dirgahayu ke-69 Indonesia!

Friday, July 25, 2014

The Emperor's New Clothes


Dongeng ini bercerita tentang seorang kaisar, yang terkenal pongah, hidup penuh dengan puja-puja para penjilat. Kisah ini sangatlah terkenal, ditulis oleh Hans Christian Andersen yang termahsyur, hidup di Denmark pada abad ke XIX.
Cerita ini mengajarkan nilai kebajikan dalam hidup, menginspirasi banyak penciptaan film, music, drama, balet, dan animasi. Juga menginspirasi Elton John menciptakan lagu dengan judul yang sama.
-----------
Alkisah hiduplah seorang Kaisar, yang setiap hari sibuk mengurusi keagungannya, terutama tampilan fisik. Ia sangat mencintai kegagahan, berganti pakaian setiap jam untuk ditunjukkan kepada rakyat.
Dua begundal penipu yang mendengar kesombongan Kaisar, menghadap ke istana dengan membawa akal bulus dan tipu muslihat.
"Kami adalah dua penjahit yang telah menemukan metode yang luar biasa untuk menenun kain sebegitu ringan, indah, dan halus hingga tak tampak terlihat. Pakaian ini tidak akan dilihat oleh mereka yang bodoh, yang tidak punya kualitas layak untuk melihat keindahan.” Demikian hasutan kedua begundal itu kepada Kaisar.
Sang Kaisar, dengan pertimbangan pembesar-pembesarnya, tanpa berpikir panjang, memerintahkan kedua begundal untuk menenun pakaian yang pantas buat Kaisar. Kaisar memberi sekantong emas sebagai permulaan awal untuk mengerjakan. Kaisar berpikir bahwa ia akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus: mendapatkan setelan pakaian yang luar biasa dan menemukan orang-orangnya yang bodoh dan tidak kompeten.
Beberapa hari kemudian, dia menghubungi perdana menteri tua yang bijaksana, yang dianggap oleh semua orang sebagai seorang pria dengan akal paling sehat di kerajaan.
"Pergi dan coba lihat bagaimana pekerjaan mereka, dan segera kembali memberi tahu saya," demikian perintahnya.
Perdana menteri disambut oleh dua begundal itu.
"Kita hampir selesai. Sini, coba lihat dan rasakan kelembutannya!" Perdana menteri membungkuk ke arah alat tenun dan mencoba untuk melihat kain yang tidak ada itu. Mendadak keringat dingin mengucur di dahinya.
"Saya tidak bisa melihat apa-apa," pikirnya. "Itu berarti saya bodoh!" Jika perdana menteri mengakui bahwa ia tidak melihat apa-apa, ia akan diberhentikan dari jabatannya karena bodoh.
Akhirnya perdana menteri melapor ke Sang Kaisar bahwa pekerjaan mereka berjalan sesuai dengan rencana, dan ia telah melihat pakaian yang luar biasa menakjubkan.
Beberapa hari kemudian kedua begundal datang ke istana.
"Ini dia Yang Mulia, hasil dari kerja kami. Kami telah bekerja siang dan malam, pada akhirnya, kain yang paling indah di dunia siap untuk Anda. Lihatlah warna dan rasakan betapa halusnya."
Tentu saja kaisar tak melihat dan merasakan kain di antara jari-jarinya. Dia panik dan hampir pingsan. Tapi ketika ia menyadari bahwa tidak ada yang bisa tahu bahwa ia tidak melihat kain, ia merasa sedikit terhibur. Tidak ada yang bisa mengetahui ia bodoh. Dan kaisar tidak tahu bahwa orang lain di sekelilingnya berpikir dan melakukan hal yang sama dengannya.
Lelucon berlanjut. "Yang Mulia, Anda harus melepas pakaian untuk mencoba yang baru ini." Kaisar sedikit malu karena merasa tidak mengenakan apapun, tapi karena tidak ada yang memandangnya aneh, ia merasa lega.
"Ya, ini adalah setelan yang indah dan tampak luar biasa pada saya," kaisar berkata berusaha terlihat nyaman. "Anda telah melakukan pekerjaan yang baik."
"Yang Mulia," perdana menteri mengatakan, "kami memiliki permintaan untuk Anda. Seluruh rakyat telah mengetahui tentang kain yang luar biasa ini dan mereka ingin melihat Anda dalam setelan baru ini."
Hulubalang segera memanggil kereta dan parade upacara diadakan. Sekelompok pejabat berjalan di bagian paling depan prosesi dengan wajah sedikit raut cemas. Semua orang telah berkumpul di alun-alun, saling mendorong untuk mendapatkan jarak pandang yang baik. Tepuk tangan bergemuruh menyambut prosesi agung.
Semua orang dalam kerumunan mengatakan, "Lihatlah, betapa indahnya baju baru kaisar! Dan warna! Warna yang kain yang indah! Aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu dalam hidup saya!" Mereka semua berusaha menutupi perasaan karena tidak bisa melihat pakaian kaisar.
Tiba-tiba seorang anak gelandangan, yang hanya bisa melihat hal-hal sebagaimana matanya melihat, berteriak keras, "Kaisar telanjang!" katanya.
"Bodoh!" ayahnya menegur, berlari mengejarnya. "Jangan bicara omong kosong!" Dia menangkap anaknya dan membawa pergi. Tapi ucapan anak itu, yang telah didengar rakyat dan kaisar, diulang lagi dan lagi sampai semua orang tersadar:
"Anak itu benar! Kaisar telanjang! Memang benar!"
---------
Ungkapan "emperor's new clothes" telah menjadi idiom populer dalam bahasa Inggris modern, sebagai salah satu  logical fallacies menyangkut pluralistic ignorance. Situasi ketika tidak ada yang percaya, tapi semua orang percaya bahwa orang lain percaya. Atau sebaliknya, semua orang tahu apakah Kaisar memiliki pakaian atau tidak, namun percaya bahwa orang lain tidak tahu.
Self-Deception adalah proses menyangkal atau merasionalisasi relevansi, signifikansi, atau pentingnya bukti menentang dan argumen yang logis. Menipu diri sendiri, singkatnya, adalah cara kita membenarkan keyakinan palsu tentang diri kita sendiri untuk diri kita sendiri. Proses menipu diri sendiri digunakan oleh hampir setiap karakter dalam cerita dalam rangka untuk melindungi diri dari ketidaknyamanan kebenaran. Sekali lagi, kebenaran adalah bahwa mereka tidak dapat melihat pakaian kaisar.
Ada beberapa pelajaran moral dalam cerita ini. Diantaranya, jangan mengikuti jika Anda tahu sesuatu dengan lebih baik, suara mayoritas tidaklah selalu benar, dan jangan takut untuk mengatakan yang sebenarnya seperti yang Anda lihat.
Andersen pada dasarnya menulis satir ini untuk menyindir kaum borjuis di jamannya, mengekspos kemunafikan dan keangkuhan mereka, dan cenderung dipuja dengan pura-pura oleh para penjilat yang hidupnya bergantung kepada si borjuis itu. Dan pada akhirnya hanya akan menciptakan seseorang yang hidup dalam ilusi--menganggap diri hebat.
Terasa relevan dengan fenomena capres yang terjadi sekarang di Indonesia? Ketika kita ditunjukkan banyak kejadian yang sebenarnya sungguh di luar nalar. Kita ditunjukkan akrobat politik yang tidak berdasar. Dan anehnya juga memiliki banyak pemuja.
Cerita ini adalah satu satir klasik yang paling saya suka. Saya pikir dunia modern kita ini memang penuh dengan kaisar telanjang. Dan saya senang menikmati ketelanjangan mereka itu.

Friday, June 20, 2014

Resiko Perdagangan Frekuensi Tinggi

Kontan, 20 Juni 2014
Bank of America, Bursa Saham New York (NYSE), dan beberapa perusahaan broker yang melakukan perdagangan frekuensi tinggi mendapat gugatan class action dari ibu kota negara bagian Rhode Island, Amerika Serikat. Kejadian ini terjadi pada April 2014 lalu. Mereka dituduh telah melakukan manipulasi pasar sekuritas AS dalam perdagangan frekuensi tinggi (High Frequency Trading).
Biro Penyidikan Federal (FBI) dilaporkan sedang melakukan penyelidikan akan kasus ini. Investigasi dilakukan untuk melihat apakah perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perdagangan frekuensi tinggi menggunakan informasi perdagangan untuk mendapat keuntungan dalam tempo singkat.
Dalam dokumen yang diajukan di pengadilan federal Manhattan dinyatakan bahwa sistem perdagangan ini memberi keuntungan lebih dari 1.000 mikrodetik dibanding sistem perdagangan biasa. Keunggulan kecepatan mikrodetik itu kemudian yang akan digunakan mengeksploitasi data pasar untuk membatalkan pesanan atau mengeksekusi perdagangan. Waktu yang kelihatannya sedikit itu adalah lebih dari cukup untuk menghasilkan keuntungan yang luar biasa.
Isu tentang perdagangan frekuensi dengan kecepatan tinggi ini menyeruak belakangan ke publik. Itu terjadi sejak Michael Lewis menerbitkan buku Flash Boys: A Wall Street Revolt Maret 2014. Michael Lewis berargumen bahwa pasar saham AS dicurangi ketika para pedagang frekuensi tinggi dengan komputer canggih mencetak puluhan miliar dolar dengan mengandalkan kecepatan yang ada di depan investor umum.
Secara teori, transaksi ini dilakukan dengan membeli saham pada harga bid dan langsung menjual pada harga sell seketika itu juga sebelum harga sempat berubah. Data transaksi atau antrian yang akan dilakukan broker juga bisa dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan seperti metode arbitrase. Dan transaksi ini dilakukan dengan frekuensi yang sangat tinggi atau secara berulang-ulang. Transaksi dilakukan oleh komputer dengan algoritma yang super canggih dan didukung internet berkecepatan tinggi.
Cerita menghasilkan keuntungan dengan mengandalkan kecepatan sebenarnya bukan hal baru. Tahun 1815 di Bursa Efek London, Dinasti Rothschild yang termahsyur itu membangun sebuah jaringan mata-mata di penjuru Eropa untuk mengumpulkan informasi ketika terjadi Pertempuran Waterloo. Sistem mata-mata yang unik diciptakan dengan memanfaatkan burung merpati, kuda-kuda tercepat, serta jaringan kurir yang sangat efisien. Mata-mata juga ditempatkan di kedua kubu yang sedang berperang.
Rothschild mencetak keuntungan besar sepanjang perang itu. Kabar yang diperoleh melalui jaringan mata-mata dimanfaatkan untuk melakukan transaksi jual dan beli. Dan yang paling mencengangkan, berita kemenangan diperoleh Rotschild sehari lebih dahulu daripada berita resmi dari pemerintah. Rotschild langsung memborong obligasi pemerintah Inggris sebelum kabar tersebar di pasar. Dikabarkan keuntungan spektakuler diperoleh keluarga Rothschild dengan menggunakan leverage.

Implikasi kepada investor
Di era sekarang, teknologi menjadi sangat vital bagi kehidupan. Kecepatan kuda atau merpati yang dimanfaatkan dahulu, sekarang digantikan oleh jaringan serat optik yang canggih. Teknologi yang terus berkembang akan diikuti oleh sistem perdagangan saham yang semakin canggih juga.
Di Indonesia sendiri sistem ini mungkin belum populer saat ini. Belum banyak pihak yang membahas ini di Indonesia. Namun tren ke depan akan ke arah ini. Pihak fasilitator dan regulator bursa harus siap menghadapinya. Sebab sistem yang canggih ini juga menyimpan potensi resiko mengacaukan pasar. Ini berhubungan dengan resiko volatilitas jangka pendek yang tak terkontrol di bursa.
Kekacauan di bursa sangat mungkin terjadi bila infrastruktur tidak siap. Transaksi berfrekuensi tinggi ini berpotensi menimbulkan eror dalam sistem perdagangan bursa. Sebab eksekusi perdagangan yang terjadi bisa mencapai jutaan transaksi dalam sekejab mata.
Resiko sistematik sangat mungkin terjadi. Lihat saja peristiwa Maret 2010 flash crash ketika Dow Jones rontok lebih dari 1.000 poin dalam hitungan menit. Pada Agustus 2012, Knight Capital Partners juga runtuh akibat permasalahan dalam algoritma sistem perdagangan. Kerugian yang ditimbulkan mencapai US$ 440 juta.
Praktik perdagangan frekuensi tinggi ini masih mengundang perdebatan hingga saat ini. Metode ini memang membuat pasar semakin efisien karena spread semakin tipis. Likuiditas pasar juga semakin meningkat. Namun satu sisi, praktik ini juga cenderung tidak fair karena merugikan investor umum yang tidak memiliki fasilitas canggih.
Poinnya bagi investor konvensional adalah bahwa jika tidak memiliki platform yang canggih, susah untuk melawan dominasi dari mereka yang memiliki sistem yang lebih canggih. Keuntungan jangka pendek adalah semakin susah diperoleh dengan trading. Namun ini tidak akan relevan untuk jangka panjang dimana harga bergantung pada fundamental. Jadi bila kita tidak memiliki platform teknologi yang canggih, sebaiknya investasi jangka panjang adalah yang paling rasional untuk dilakukan.

Monday, June 16, 2014

The Art of Rethorics

Dalam debat calon presiden semalam, retorika yang dilemparkan kebanyakan dibangun diatas kontradiksi dan melanggar logika ekonomi. Contohnya seorang kandidat mengatakan angka pengangguran akan ditekan secara signifikan dengan mengembangkan sektor pertanian. Kedengarannya memang hebat dan populis, namun sebenarnya tidak sesuai logika ekonomi. Saya tidak tahu dimana ini orang belajar ekonomi.
Seni beretorika mendapat tempat yang sangat tinggi dalam sejarah intelektual peradaban. Berbeda dengan sekarang (mungkin hanya di Indonesia?) yang menganggap retorika hanya sebagai upaya memanipulasi atau mengaburkan fakta kebenaran. Padahal seni beretorika dalam perdebatan adalah elemen penting untuk menemukan kebenaran.

Dalam ilmu klasik, subjek utama yang dipelajari dalam Liberal Arts dikenal dengan istilah Trivium, yaitu: Grammar, Rhetoric, dan Logic. Pada perkembangan berikutnya di Era Pertengahan (medieval), empat subjek dengan istilah Quadrivium ditambahkan, yaitu: Arithmetic, Geometry, Astronomy, dan Music. Keseluruhan Trivium dan Quadrivium inilah yang dikenal dengan istilah the Seven Liberal Arts.
Aristoteles memperkenalkan tiga basic utama dalam seni beretorika:
  1. ETHOS. Orang yang menyampaikan harus layak dipercaya sesuai dengan track record.
  2. PATHOS. Beretorika itu adalah pertarungan antara emosi dengan rasionalitas. Emosi harus tetap ditekan dan mengedepankan rasionalitas.
  3. LOGOS. Retorika harus dibangun dengan konstruksi logika yang baik. Pengambilan kesimpulan harus dilakukan berdasarkan silogisme yang valid.
Pendidikan dengan model seperti inilah yang dinikmati oleh kebanyakan pemikir dunia yang tercatat oleh sejarah. Sistem pendidikannya memang sudah mempersiapkan manusia untuk menjadi seorang pemikir yang kritis, dengan dasar yang kuat di bidang ilmu sosial, sains, nalar, dan kepekaan.

Di era modern sekarang, ekonomi dan politik semestinya dibangun di atas ilmu pengetahuan. Masyarakat tumbuh semakin kritis dan melek dengan informasi. Kekuatan bukan lagi diukur dari senjata dan otot. Sebab itu kemampuan retorika yang dibangun di atas logika mutlak diperlukan jika ingin melempar wacana atau ide yang kuat ke publik. Jika tidak, seorang politisi itu tidak ubahnya dengan tukang obat di pasar.
Kita sebagai individu juga penting memiliki dasar keilmuan ini. Jika tidak, kita akan tumbuh menjadi manusia yang menganut kebenaran yang hanya hasil konstruksi dari orang lain. Atau mungkin hasil konstruksi mayoritas atau konsensus.
Ngomong-ngomong, saya sedang membayangkan debat canggih antara Sri Mulyani dengan Gita Wirjawan sebagai calon presiden. Eh tapi itu tidak mungkin, mereka kan neolib. :p

Friday, April 4, 2014

Kutukan Negara Kaya : The Paradox of Plenty


Indonesia adalah negara kaya. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan.
Kekayaan alam  telah muncul menjadi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Dari resesi ekonomi tahun 1965, dimana saat itu ekonomi minus 8%, Indonesia mulai bangkit di tahun 1970-an. Di masa itu pertumbuhan ekonomi bersumber dari ledakan harga minyak di pasar internasional.
Berikutnya era 1980-an, setelah booming minyak bumi berhenti, eksploitasi hasil hutan menjadi tumpuan. Dan kemudian pada tahun 2000-an, Batubara dan minyak sawit menjadi komoditas idola.
Namun Indonesia tetap terjebak dalam masalah pelik hingga saat ini. Dari populasi 234 juta penduduk, lebih dari 32 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pertumbuhan lapangan kerja selalu berada di bawah pertumbuhan jumlah penduduk.
Iklim investasi memang sudah membaik, namun ketidakpastian regulasi masih tinggi akibat pemerintahan yang korup. Infrastruktur yang minim juga menjadi masalah yang belum terpecahkan di Indonesia.
Dalam teori ekonomi, dikenal istilah Resource Curse atau Paradox of Plenty. Situasi paradoks di mana negara dengan limpahan sumber daya alam tak terbarukan mengalami kemiskinan yang tinggi. Tata kelola negara yang buruk, kemiskinan yang tinggi, dan konflik menjadi ciri khas negara ini. Kawasan Timur Tengah menjadi contoh yang paling tepat untuk menggambarkan situasi ini.
Masalah ini pernah dialami Belanda setelah ditemukan cadangan gas Laut Utara tahun 1959 (Dutch Disease). Ketika itu, arus masuk pendapatan dalam mata uang dolar menyebabkan apresiasi tajam mata uang domestik. Minyak akhirnya mendominasi perekonomian. Sektor non-minyak seperti pertanian dan manufaktur menjadi kurang kompetitif di pasar dunia.
Kutukan sumber daya alam terjadi karena negara mulai memfokuskan seluruh energi pada satu industri saja, seperti pertambangan, dan mengabaikan sektor-sektor utama lainnya. Sektor yang non-tradable, yang cenderung butuh effort lebih besar, menjadi prioritas ke sekian.
Akibatnya, bangsa menjadi terlalu tergantung pada harga komoditas, dan produk domestik bruto secara keseluruhan menjadi sangat volatile karena tergantung ke harga pasar.
Negara dengan SDA kaya juga punya kecenderungan pemerintahan yang korup dan tidak efisien. Ketika ada sektor ekstraktif yang relatif dapat menghasilkan easy money, kecenderungan untuk menghambur-hamburkan juga ada. Seperti kata klise yang biasa kita dengar “easy come easy go.”
Para pemburu rente berebut memasuki sektor ini. Tak heran bila daftar orang terkaya Indonesia diisi oleh pebisnis yang mencari peruntungan dari eksploitasi SDA.
Tenaga kerja juga berlomba memasuki sektor ini karena menjanjikan insentif yang lebih besar.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab negara kita tertinggal dalam banyak hal. Dari dahulu, pemikiran kita dicekoki dengan doktrin bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Ini membuat bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang pemalas karena menganggap diri sudah kaya. Tanpa bekerja keras juga kita masih bisa bertahan hidup.
Jepang tumbuh menjadi negara yang maju karena mereka sadar bahwa negara mereka adalah negara yang susah. Mereka butuh kerja keras walaupun hanya untuk sekedar dapat bertahan hidup. Sektor manufaktur mendapat perhatian sangat besar. Industrialis tumbuh pesat menciptakan lapangan kerja baru.
Tampaknya bangsa kita memang masih gagal melakukan kapitalisasi atas kekayaan itu. Dan ini adalah masalah ekonomi Indonesia jika dilihat dari gambar besarnya. Sekaligus ini menjadi tugas buat presiden yang akan terpilih nanti. Namun saya tidak yakin jika ada kandidat presiden yang menyadari permasalahan. Naif rasanya jika kita memilih presiden hanya karena popularitas media.
Disaat musim pemilu seperti sekarang, kandidat hanya berlomba mengangkat isu yang sama. Isu yang sangat basi menurut saya, yaitu gencarnya penguasaan asing di Indonesia. Semua berlomba mengatakan bahwa pihak asing telah menguasai Indonesia. Kelihatan bahwa mereka sebenarnya tidak paham permasalahan negara ini apa.
Toh yang saya lihat, pengusaha lokal tidak lebih baik dari asing. Banyak perusahaan asing yang lebih taat pajak daripada lokal. Banyak perusahaan asing yang lebih memanusiakan karyawannya daripada lokal.
Memang perusahaan asing itu juga hanya peduli dengan keuntungan, mereka mungkin bukan berniat untuk memajukan Indonesia. Tapi bukannya memang itulah bisnis? Apa bedanya dengan pebisnis lokal?
Sekarang menjadi tugas pemerintah adalah membuat negara juga mendapatkan porsi atas keuntungan mereka itu dengan regulasi yang tepat.
Jadi sebenarnya isu asing atau lokal sudah tak relevan lagi saat ini. Sekarang adalah era kompetisi pasar bebas. Mari meningkatkan kualitas jika ingin mengalahkan asing. Semoga bangsa kita tidak menjadi seperti semut yang mati karena gula.

Dipublikasikan pada Koran Kontan, 9 April 2014

Friday, March 21, 2014

Politik dan Pemburu Rente: Friends in High Places

Dua tahun lalu saya ikut menyusun in-depth report dan investigasi ketika membuat profiling terhadap 20 orang terkaya Indonesia versi Majalah Forbes. Yang menarik perhatian saat itu adalah ternyata sangat susah ditemukan diantara 20 nama itu yang tidak memiliki koneksi politik level atas. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa tidak ada diantara 20 nama itu yang tidak terkoneksi ke politik.
Tidak terlalu mengejutkan pula bila majalah The Economist edisi 15 Maret 2014 menempatkan Indonesia di peringkat sepuluh dalam the crony-capitalism index.
Era booming ekonomi Indonesia memang tampaknya hanya dinikmati segelintir orang. Pada masa Orde Baru sudah kita tahu bersama bahwa mayoritas sektor usaha dimonopoli oleh pengusaha yang dekat dengan rezim. Sejak menjadi diktator Indonesia tahun 1960-an, Soeharto berhasil mentransfer harta kekayaan negara ke dalam lingkaran kekuasaan.
George Aditjondro yang mengabdikan hidupnya menelisik kekuasaan oligarki Orde Baru, memperkirakan jumlah kekayaan Soeharto (Ia menyebut dengan istilah Suharto Inc.) mencapai USD 25 miliar, jauh lebih besar dari perkiraan majalah Forbes dan TIME.
Pada era berikutnya, sesudah kekuasaan Soeharto tumbang, keadaan tidak jauh berbeda. Aset sitaan BLBI banyak jatuh dengan harga diskon kepada para pengusaha yang memiliki koneksi politik.
Mungkin hal itu juga belum banyak berubah pada kekuasaan SBY sepuluh tahun terakhir. Insider businessman tetap tampil menguasai Sumber Daya Alam. Dan mayoritas orang-orang itu adalah masih peninggalan era Soeharto, tetapi dengan wajah yang berbeda sebagai boneka depan. Sebut saja misalnya Keluarga Salim, Soeryadjaya, Riady, Nursalim, dan Bakrie.
Sektor bisnis yang paling rawan menjadi lokasi suburnya aksi kroni menurut majalah The Economist juga relatif sama dengan yang terjadi di Indonesia. Sektor-sektor yang seharusnya milik publik dan dikuasai negara menjadi tempat berkembangnya praktek ini. Pertambangan adalah yang paling kasat mata di Indonesia. Nyaris tak ada pengusaha tambang yang tidak memiliki koneksi politik.
Cara paling mudah untuk melihat koneksi suatu perusahaan ke politik adalah melihat jajaran komisaris yang duduk di perusahaan. Banyak perusahaan besar yang mengelola resiko dengan menempatkan orang kuat yang memiliki koneksi ke politik sebagai Komisaris pemakan gaji buta.
Menyedihkan memang 16 tahun sesudah Reformasi, negara ini masih dipenuhi dengan pembuat kebijakan yang korup dan pebisnis pencari rente yang sedang mengumpulkan kekayaan.
Konsekuensi pemburu rente
Praktek kongkalikong pengusaha dengan politik ini adalah sangat tidak fair dan akan merusak mekanisme pasar. Keseimbangan jangka panjang yang terbentuk tidak mencerminkan equilibrium ekonomi yang sebenarnya. Kompetisi hanya akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki koneksi baik. Akibatnya yang dirugikan adalah konsumen yang akan dibebankan harga tidak wajar. Daya saing akan menjadi rendah di pasar global.
Sebab itu, jangan heran jika anda harus membayar Rp 600 juta untuk sepetak rumah tipe 36 di daerah komuter Jakarta. Ini tak lepas dari aksi para pemburu rente di bidang penguasaan lahan.
Mancur Olson telah melakukan penelusuran historis konsekuensi dari perbuatan pemburu rente ini dalam buku The Rise and Decline of Nations. Dia berargumen semakin suatu negara didominasi oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan yang terorganisir, negara itu akan semakin kehilangan kekuatan ekonomi dan sedang menuju penurunan .
Ekonom dari Columbia University Joseph Stiglitz berpendapat bahwa pemburu rente adalah kontributor besar dalam ketimpangan pendapatan di Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan kekayaan haram melalui lobi-lobi terhadap kebijakan pemerintah. Tak heran bila kekayaan hanya terkonsentrasi pada sekelompok orang atau golongan.
Namun di satu sisi, berbisnis itu memang susah dan penuh dengan resiko ketidakpastian. Akan sangat besar resiko yang ditanggung pengusaha ketika tidak memiliki koneksi politik. Intervensi terhadap kebijakan kadang dibutuhkan melalui koneksi yang dimiliki itu. Tentunya akan ada penyuapan yang bermain di sana.
Dari sisi rasionalitas bisnis, tindakan para pebisnis ini memang sangat masuk akal. Saya contohkan misalnya daripada membayar pajak Rp 500 miliar, lebih baik menyuap petugas pajak sebesar Rp 50 miliar.
Mungkin ini adalah praktek yang lumrah dalam bisnis, bukan hanya di Indonesia. Tapi itu tidaklah layak untuk dijadikan alasan pembenaran.
Sampai sekarang saya juga masih berpikiran bahwa memang mungkin mustahil memiliki perusahaan besar jika tidak memiliki koneksi politik. Bahkan saya sering berspekulasi bahwa tidak akan ada cara untuk kaya dengan jujur. Semoga saja saya salah dengan pengalaman yang masih terbatas ini.


Dipublikasikan pada Harian Kontan dan Kontan Online, 28 Maret 2014.


Sunday, March 16, 2014

Jokowi Effect : A Drug on the Market


Kontan, 17 Maret 2014

Jokowi berhasil mengubah mood pasar saham Jakarta hanya dalam hitungan jam. Running trade yang penuh dengan warna merah tiba-tiba mendadak hijau. Indeks yang sempat berkubang di zona merah hingga minus 1% di sesi pagi 14 Maret 2014, berhasil berbalik arah melonjak begitu kabar deklarasi Jokowi sebagai calon presiden menyebar di pasar. Indikator pasar saham Jakarta sukses melompat hingga 3,2% di sesi penutupan sore. Dan kejadian itu terjadi di tengah gempuran sentimen negatif dari Ukraina. IHSG berhasil melawan arus pelemahan dalam pasar global dan regional. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah sebagai indikator sovereign risk juga langsung turun 10 basis poin.

Sepanjang pengalaman saya menggeluti pasar modal, hanya ada dua tokoh besar di Indonesia yang mampu menggerakkan pasar saham sangat signifikan. Salah satu tokoh lain yang muncul di kepala saya adalah Sri Mulyani. Saya ingat pada Mei 2010, pasar saham terjun bebas hingga minus 3,81% ketika beliau mengumumkan pengunduran diri dari posisi Menteri Keuangan akibat tekanan politik. Saat itu pasar saham bereaksi negatif dan melakukan aksi jual besar-besaran.

Jokowi yang cenderung lebih disimbolkan mewakili masyarakat kecil, ternyata juga mampu memberikan harapan baru di pasar saham yang  sering dianggap menyimbolkan kapitalisme nan rakus. Jokowi juga ternyata mampu memompa semangat baru ke dunia yang dianggap hanya diisi oleh orang-orang berduit yang tidak punya sense of humanity.

Investor asing juga memberikan reaksi gairah yang luar biasa. Suntikan uang panas dari luar negeri seketika masuk ke dalam sistem pasar saham Indonesia dalam jumlah bersih IDR 7,5 triliun. Dan itu terjadi hanya dalam beberapa jam perdagangan saja.

“Investor tidak membutuhkan hasil Pilpres lagi. Dengan deklarasi Jokowi sebagai calon presiden saja, pasar sudah bisa menebak hasil Pilpres nanti. Bisa dipastikan dia akan menang dengan mudah.” Demikian komentar dari seorang teman sesama portfolio manager. Ini berarti price in ke market akan dilakukan sekarang hingga sebelum Pilpres.

Dalam catatan saya, belum ada sambutan semeriah ini untuk kandidat presiden sepanjang perjalanan bursa saham Indonesia. Sebagai perbandingan, tengok saja ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden tahun 1999. Tepat tanggal 20 Oktober, bursa dibuka pada angka 583. Ketika akhirnya Gus Dur terpilih mengalahkan Megawati, bursa langsung anjlok ke angka 569. Memang terbilang wajar untuk saat itu, mengingat adanya potensi terjadinya keributan akibat pendukung Megawati yang tidak terima dengan kekalahan jagoannya.

Ketika SBY terpilih menjadi Presiden untuk pertama kalinya, tepatnya pada 21 September 2004,  IHSG hanya naik tipis sekitar 0,18%. Sementara tahun 2009 ketika SBY terpilih untuk kedua kalinya, sehari setelah Pilpres, IHSG ditutup hanya menguat tipis 0,03%.

Pesona Jokowi memang luar biasa membius publik saat ini. Jika ada yang berani mengkritik Jokowi secara terbuka, dipastikan orang itu akan berhadapan dengan publik yang sudah terlanjur mencintai Jokowi. Bahkan kaum rasionalis yang saya kenal dengan pandangan-pandangan sinis dan skeptisnya selama ini, seolah-olah kehilangan akal sehat ketika sudah berbicara tentang Jokowi. Tak tampak lagi argumen-argumen yang didasarkan pada fakta. Yang ada hanyalah romantisme ala Eropa abad ke 18. Profil Jokowi memang sudah sukses besar melambung digoreng oleh media massa.

Overreaction pasar saham

Salah satu konsekuensi dari manusia ketika terjun ke pasar modal adalah adanya unsur emosi dari pelaku yang terlibat. Overreaction adalah salah satu fenomena yang menjadi bukti keterlibatan unsur emosional itu. Dalam konsep efisiensi pasar, informasi yang baru muncul tidak akan terefleksi secara tepat dan sempurna ke pasar, akan selalu ada apresiasi yang berlebihan atau kurang terhadap harga sekuritas. Sebelum kemudian pelaku melakukan penyesuain dengan fundamental atau nilai informasi itu.

Berhubungan dengan hipotesis efisiensi pasar, bisa saya katakan bahwa informasi seperti pencapresan Jokowi ini bukanlah suatu tren jangka panjang dalam bursa saham. Pada intinya, semua akan kembali ke fundamental. Namun memang tak ada salahnya jika kita memanfaatkan euforia jangka pendek ini.

Saya kira, pasar juga harus melakukan eksplorasi yang lebih jauh lagi untuk mengetahui bagaimana sudut pandang dan kebijakan ekonomi yang akan dijalankan oleh Jokowi nantinya. Perlu dilihat lebih jauh lagi apakah Jokowi sebenarnya pro pasar atau tidak. Dan yang paling penting, salah satu masalah mendasar dalam ekonomi Indonesia adalah persoalan subsidi BBM. Waktu akan menguji nantinya apakah Jokowi hanya mementingkan populisme semata atau rela mengorbankan popularitas demi kepentingan jangka panjang bangsa. Semoga Jokowi tidak akan mengecewakan publik kemudian.