Pages

Ads 468x60px

Friday, March 21, 2014

Politik dan Pemburu Rente: Friends in High Places

Dua tahun lalu saya ikut menyusun in-depth report dan investigasi ketika membuat profiling terhadap 20 orang terkaya Indonesia versi Majalah Forbes. Yang menarik perhatian saat itu adalah ternyata sangat susah ditemukan diantara 20 nama itu yang tidak memiliki koneksi politik level atas. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa tidak ada diantara 20 nama itu yang tidak terkoneksi ke politik.
Tidak terlalu mengejutkan pula bila majalah The Economist edisi 15 Maret 2014 menempatkan Indonesia di peringkat sepuluh dalam the crony-capitalism index.
Era booming ekonomi Indonesia memang tampaknya hanya dinikmati segelintir orang. Pada masa Orde Baru sudah kita tahu bersama bahwa mayoritas sektor usaha dimonopoli oleh pengusaha yang dekat dengan rezim. Sejak menjadi diktator Indonesia tahun 1960-an, Soeharto berhasil mentransfer harta kekayaan negara ke dalam lingkaran kekuasaan.
George Aditjondro yang mengabdikan hidupnya menelisik kekuasaan oligarki Orde Baru, memperkirakan jumlah kekayaan Soeharto (Ia menyebut dengan istilah Suharto Inc.) mencapai USD 25 miliar, jauh lebih besar dari perkiraan majalah Forbes dan TIME.
Pada era berikutnya, sesudah kekuasaan Soeharto tumbang, keadaan tidak jauh berbeda. Aset sitaan BLBI banyak jatuh dengan harga diskon kepada para pengusaha yang memiliki koneksi politik.
Mungkin hal itu juga belum banyak berubah pada kekuasaan SBY sepuluh tahun terakhir. Insider businessman tetap tampil menguasai Sumber Daya Alam. Dan mayoritas orang-orang itu adalah masih peninggalan era Soeharto, tetapi dengan wajah yang berbeda sebagai boneka depan. Sebut saja misalnya Keluarga Salim, Soeryadjaya, Riady, Nursalim, dan Bakrie.
Sektor bisnis yang paling rawan menjadi lokasi suburnya aksi kroni menurut majalah The Economist juga relatif sama dengan yang terjadi di Indonesia. Sektor-sektor yang seharusnya milik publik dan dikuasai negara menjadi tempat berkembangnya praktek ini. Pertambangan adalah yang paling kasat mata di Indonesia. Nyaris tak ada pengusaha tambang yang tidak memiliki koneksi politik.
Cara paling mudah untuk melihat koneksi suatu perusahaan ke politik adalah melihat jajaran komisaris yang duduk di perusahaan. Banyak perusahaan besar yang mengelola resiko dengan menempatkan orang kuat yang memiliki koneksi ke politik sebagai Komisaris pemakan gaji buta.
Menyedihkan memang 16 tahun sesudah Reformasi, negara ini masih dipenuhi dengan pembuat kebijakan yang korup dan pebisnis pencari rente yang sedang mengumpulkan kekayaan.
Konsekuensi pemburu rente
Praktek kongkalikong pengusaha dengan politik ini adalah sangat tidak fair dan akan merusak mekanisme pasar. Keseimbangan jangka panjang yang terbentuk tidak mencerminkan equilibrium ekonomi yang sebenarnya. Kompetisi hanya akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki koneksi baik. Akibatnya yang dirugikan adalah konsumen yang akan dibebankan harga tidak wajar. Daya saing akan menjadi rendah di pasar global.
Sebab itu, jangan heran jika anda harus membayar Rp 600 juta untuk sepetak rumah tipe 36 di daerah komuter Jakarta. Ini tak lepas dari aksi para pemburu rente di bidang penguasaan lahan.
Mancur Olson telah melakukan penelusuran historis konsekuensi dari perbuatan pemburu rente ini dalam buku The Rise and Decline of Nations. Dia berargumen semakin suatu negara didominasi oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan yang terorganisir, negara itu akan semakin kehilangan kekuatan ekonomi dan sedang menuju penurunan .
Ekonom dari Columbia University Joseph Stiglitz berpendapat bahwa pemburu rente adalah kontributor besar dalam ketimpangan pendapatan di Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan kekayaan haram melalui lobi-lobi terhadap kebijakan pemerintah. Tak heran bila kekayaan hanya terkonsentrasi pada sekelompok orang atau golongan.
Namun di satu sisi, berbisnis itu memang susah dan penuh dengan resiko ketidakpastian. Akan sangat besar resiko yang ditanggung pengusaha ketika tidak memiliki koneksi politik. Intervensi terhadap kebijakan kadang dibutuhkan melalui koneksi yang dimiliki itu. Tentunya akan ada penyuapan yang bermain di sana.
Dari sisi rasionalitas bisnis, tindakan para pebisnis ini memang sangat masuk akal. Saya contohkan misalnya daripada membayar pajak Rp 500 miliar, lebih baik menyuap petugas pajak sebesar Rp 50 miliar.
Mungkin ini adalah praktek yang lumrah dalam bisnis, bukan hanya di Indonesia. Tapi itu tidaklah layak untuk dijadikan alasan pembenaran.
Sampai sekarang saya juga masih berpikiran bahwa memang mungkin mustahil memiliki perusahaan besar jika tidak memiliki koneksi politik. Bahkan saya sering berspekulasi bahwa tidak akan ada cara untuk kaya dengan jujur. Semoga saja saya salah dengan pengalaman yang masih terbatas ini.


Dipublikasikan pada Harian Kontan dan Kontan Online, 28 Maret 2014.


0 comments: