Pages

Ads 468x60px

Friday, April 4, 2014

Kutukan Negara Kaya : The Paradox of Plenty


Indonesia adalah negara kaya. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan.
Kekayaan alam  telah muncul menjadi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Dari resesi ekonomi tahun 1965, dimana saat itu ekonomi minus 8%, Indonesia mulai bangkit di tahun 1970-an. Di masa itu pertumbuhan ekonomi bersumber dari ledakan harga minyak di pasar internasional.
Berikutnya era 1980-an, setelah booming minyak bumi berhenti, eksploitasi hasil hutan menjadi tumpuan. Dan kemudian pada tahun 2000-an, Batubara dan minyak sawit menjadi komoditas idola.
Namun Indonesia tetap terjebak dalam masalah pelik hingga saat ini. Dari populasi 234 juta penduduk, lebih dari 32 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pertumbuhan lapangan kerja selalu berada di bawah pertumbuhan jumlah penduduk.
Iklim investasi memang sudah membaik, namun ketidakpastian regulasi masih tinggi akibat pemerintahan yang korup. Infrastruktur yang minim juga menjadi masalah yang belum terpecahkan di Indonesia.
Dalam teori ekonomi, dikenal istilah Resource Curse atau Paradox of Plenty. Situasi paradoks di mana negara dengan limpahan sumber daya alam tak terbarukan mengalami kemiskinan yang tinggi. Tata kelola negara yang buruk, kemiskinan yang tinggi, dan konflik menjadi ciri khas negara ini. Kawasan Timur Tengah menjadi contoh yang paling tepat untuk menggambarkan situasi ini.
Masalah ini pernah dialami Belanda setelah ditemukan cadangan gas Laut Utara tahun 1959 (Dutch Disease). Ketika itu, arus masuk pendapatan dalam mata uang dolar menyebabkan apresiasi tajam mata uang domestik. Minyak akhirnya mendominasi perekonomian. Sektor non-minyak seperti pertanian dan manufaktur menjadi kurang kompetitif di pasar dunia.
Kutukan sumber daya alam terjadi karena negara mulai memfokuskan seluruh energi pada satu industri saja, seperti pertambangan, dan mengabaikan sektor-sektor utama lainnya. Sektor yang non-tradable, yang cenderung butuh effort lebih besar, menjadi prioritas ke sekian.
Akibatnya, bangsa menjadi terlalu tergantung pada harga komoditas, dan produk domestik bruto secara keseluruhan menjadi sangat volatile karena tergantung ke harga pasar.
Negara dengan SDA kaya juga punya kecenderungan pemerintahan yang korup dan tidak efisien. Ketika ada sektor ekstraktif yang relatif dapat menghasilkan easy money, kecenderungan untuk menghambur-hamburkan juga ada. Seperti kata klise yang biasa kita dengar “easy come easy go.”
Para pemburu rente berebut memasuki sektor ini. Tak heran bila daftar orang terkaya Indonesia diisi oleh pebisnis yang mencari peruntungan dari eksploitasi SDA.
Tenaga kerja juga berlomba memasuki sektor ini karena menjanjikan insentif yang lebih besar.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab negara kita tertinggal dalam banyak hal. Dari dahulu, pemikiran kita dicekoki dengan doktrin bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Ini membuat bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang pemalas karena menganggap diri sudah kaya. Tanpa bekerja keras juga kita masih bisa bertahan hidup.
Jepang tumbuh menjadi negara yang maju karena mereka sadar bahwa negara mereka adalah negara yang susah. Mereka butuh kerja keras walaupun hanya untuk sekedar dapat bertahan hidup. Sektor manufaktur mendapat perhatian sangat besar. Industrialis tumbuh pesat menciptakan lapangan kerja baru.
Tampaknya bangsa kita memang masih gagal melakukan kapitalisasi atas kekayaan itu. Dan ini adalah masalah ekonomi Indonesia jika dilihat dari gambar besarnya. Sekaligus ini menjadi tugas buat presiden yang akan terpilih nanti. Namun saya tidak yakin jika ada kandidat presiden yang menyadari permasalahan. Naif rasanya jika kita memilih presiden hanya karena popularitas media.
Disaat musim pemilu seperti sekarang, kandidat hanya berlomba mengangkat isu yang sama. Isu yang sangat basi menurut saya, yaitu gencarnya penguasaan asing di Indonesia. Semua berlomba mengatakan bahwa pihak asing telah menguasai Indonesia. Kelihatan bahwa mereka sebenarnya tidak paham permasalahan negara ini apa.
Toh yang saya lihat, pengusaha lokal tidak lebih baik dari asing. Banyak perusahaan asing yang lebih taat pajak daripada lokal. Banyak perusahaan asing yang lebih memanusiakan karyawannya daripada lokal.
Memang perusahaan asing itu juga hanya peduli dengan keuntungan, mereka mungkin bukan berniat untuk memajukan Indonesia. Tapi bukannya memang itulah bisnis? Apa bedanya dengan pebisnis lokal?
Sekarang menjadi tugas pemerintah adalah membuat negara juga mendapatkan porsi atas keuntungan mereka itu dengan regulasi yang tepat.
Jadi sebenarnya isu asing atau lokal sudah tak relevan lagi saat ini. Sekarang adalah era kompetisi pasar bebas. Mari meningkatkan kualitas jika ingin mengalahkan asing. Semoga bangsa kita tidak menjadi seperti semut yang mati karena gula.

Dipublikasikan pada Koran Kontan, 9 April 2014